Bondowoso (ANTARA) - Meskipun zaman terus berubah, peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di beberapa daerah di Indonesia tidak mengalami banyak perubahan.
Selain membaca selawat secara bersama-sama dan dilagukan, salah satu tradisi yang masih terus dipertahankan oleh masyarakat Muslim, khususnya di perdesaan di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, adalah bertukar makanan yang mereka bawa ke masjid atau langgar dan mushalla, saat peringatan hari lahir Nabi Muhammad.
Masyarakat di Tenggarang, Kabupaten Bondowoso, juga masih mempertahankan tradisi tersebut, termasuk di sejumlah desa lain di kabupaten penghasil kopi dan tapai itu.
Sejak siang, kaum perempuan sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan makanan berupa nasi dan aneka lauk, dilengkapi dengan bermacam buah untuk dibawa ke acara maulud. Makanan itu ditaruh dalam wadah takir-takir kecil, kemudian disatukan dalam satu nampan dengan aneka buah.
Saat di masjid atau langgar dan mushalla, nampan-nampan itu dikumpulkan dan dijaga oleh panitia. Untuk di acara yang dilaksanakan di langgar kecil, nampan itu cukup diletakkan di depan orang-orang duduk melingkar. Setelah pembacaan selawat selesai, nampan-nampan itu dibagikan satu per satu kepada peserta acara.
Jika dalam pembagian, salah satu peserta menerima nampan yang dia bawa, biasanya akan ditukar dengan nampan orang yang duduk di sampingnya. Dengan cara seperti itu, maka akan terhindar seseorang membawa nampan sendiri yang dibawa dari rumah. Dengan demikian, niat saling berbagi makanan tetap berjalan.
Ketan kebuli
Salah satu tradisi yang juga masih dipertahankan oleh Muslim di Tenggarang, saat merayakan maulud adalah mengisi nampan dengan ketan kebuli.
Ketan kebuli adalah penganan yang dibuat dari bahan ketan putih yang sebelum dimasak direndam sekitar 1 jam dengan air sari kunyit. Setelah itu ketan yang sudah berwarna kuning dikukus setengah matang.
Saat bersamaan, ibu-ibu juga memanaskan santan kelapa yang telah dicampur dengan rempah-rempah. Ketika santan itu mendidih, ketan kukus dimasukkan, sehingga menjadi adonan, hingga matang.
Setelah matang sempurna, ketan diangkat dan didinginkan. Ketan kebuli itu dimasukkan ke dalam takir kecil terbuat dari daun pisang. Di atas ketan ditaburi parutan kelapa yang disangrai. Kini, wadah daun pisang itu sudah banyak yang diganti dengan wadah plastik atau kertas lilin, meskipun sebagian warga lain tetap mempertahankan tradisi menggunakan daun pisang.
"Kami masih mempertahankan tradisi maulud ini karena merupakan warisan para orang tua dan leluhur terdahulu, meskipun dalam beberapa hal juga sudah mengikuti perubahan," kata Evy, salah satu warga Tenggarang, Bondowoso, saat ditemui ANTARA.
Mengenai ketan kebuli, perempuan berusia 40-an tahun itu bertutur bahwa sesungguhnya makanan itu merupakan warisan tradisi warga keturunan Arab yang dulunya banyak menghuni di kelurahan di pinggiran Kota Bondowoso itu.
Di zaman dulu, rupanya warga di kelurahan itu menyukai penganan kebuli, sehingga menjadi tradisi turun temurun yang dibawa ke langgar atau masjid saat maulud Nabi Muhammad.
Dengan masih lestarinya tradisi yang mewarnai maulud nabi itu, maka masyarakat di Kabupaten Bondowoso masih hidup dengan relasi sosial yang penuh kekeluargaan dan gotong royong. Mereka masih menjaga nilai silaturahim lewat pertemuan di masjid dan langgar, selain budaya itu tetap dilestarikan dalam keseharian.
Jual-jualan
Bukan hanya menjadi ajang kesibukan kaum perempuan dan pertemuan kaum laki-laki, sebetulnya, tradisi maulud nabi juga menjadi ajang anak-anak di daerah itu untuk bergembira bersama.
Sekitar 10 tahun lalu, anak-anak di Kelurahan Tenggarang, Bondowoso, khususnya yang perempuan, masih memanfaatkan buah-buahan yang didapat dari peringatan maulud itu untuk bahan jualan-jualan.
Permainan itu, dilakukan pada malam hari setelah orang tua mereka datang dari masjid atau langgar. Anak-anak itu memajang buah-buahan hasil maulud untuk dijual, meskipun alat tukarnya tidak menggunakan uang.
Karena setiap rumah sudah memiliki berbagai jenis buah yang didapat dari acara maulud, maka ajang menjual dan membelinya juga hanya pura-pura alias mainan. Misalnya, satu anak, Mila. membeli di lapak milik Siti, setelah itu, gantian Siti yang membeli buah milik Mila atau ke anak-anak lainnya.
Kini, tradisi jual-jualan itu sudah tidak diminati oleh anak-anak dan hanya menjadi kenangan mereka yang kini sudah memasuki usia remaja, salah satunya, Akif.
Akif, yang kini sudah mahasiswa, bercerita bahwa ketika masih TK hingga SD, ia pernah menjalani tradisi jual-jualan buah dari hasil peringatan maulud nabi. Kala itu, ia merasakan kegembiraan bermain bersama dengan teman-teman sebayanya.
Meskipun tradisi yang mengantarkan anak-anak itu ikut bergembira menyambut maulud, setidaknya beberapa tradisi lain tidak punah, misalnya anak-anak perempuan yang ikut sibuk membantu ibunya menyiapkan makanan dan aneka buah yang hendak dibawa ke langgar atau masjid.
Hapi, sesepuh Kelurahan Tenggarang, Bondowoso, mengakui bahwa tidak mudah memelihara tradisi dai satu daerah untuk bertahan. Hanya saja, dia bergembira, karena secara garis besar, tradisi dalam mauludan di tempat tinggalnya tidak sepenuhnya punah. Apalagi, anak-anak muda masih mau meluangkan waktunya untuk pergi ke langgar atau masjid guna memeriahkan maulud nabi.
Mengenai tradisi jual-jualan yang kini tidak lagi dilakukan anak-anak, sangat mungkin tradisi itu akan hidup kembali, karena secara psikologis, setiap manusia memiliki rasa nostalgia untuk kembali mencicipi suasana masa lalu. Hal yang bisa dilakukan oleh para orang tua, saat ini adalah menceritakan kembali kepada anak-anaknya bahwa di masa lalu pernah ada tradisi jual-jualan setelah acara maulud nabi.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024