Andi Widjajanto, yang merupakan ahli bidang pertahanan dan militer serta pernah menjabat sebagai gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), menilai penyusunan doktrin itu dapat merujuk pada berbagai pengalaman TNI terlibat sebagai garda terdepan (first responder)operasi penanggulangan dan pemulihan bencana.
"Kita memiliki banyak pengalaman terutama setelah mengalami Tsunami di Aceh, gempa bumi di Palu, dan sebagainya, tetapi pengalaman-pengalaman itu tampaknya dilupakan dan tidak diteruskan menjadi sebuah pengetahuan yang diajarkan dalam akademi-akademi militer kita," kata Andi Widjajanto saat menjawab pertanyaan salah satu perwira tinggi TNI AU dalam Bali Regional Air and Space Power Forum 2024 di Nusa Dua, Bali, Selasa.
Dalam acara itu, yang disiarkan secara langsung oleh kanal YouTube Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara, Andi menjelaskan Indonesia sejak 1950-an, punya pengalaman menangani berbagai persoalan kebencanaan, misalnya yang terkait dengan para pengungsi (internally displaced person), Tsunami Aceh pada 2004, kemudian Tsunami, Gempa Bumi dan Likuifaksi di Sulawesi Tengah pada 2018, dan sederet bencana alam lainnya yang terjadi di sejumlah daerah beberapa tahun setelahnya.
Baca juga: Menhub pastikan Bali International Airshow tak ganggu penerbangan
"Kita harus belajar dari pengalaman-pengalaman yang paling relevan untuk situasi hari ini, dan menuliskan itu menjadi ruh dari organisasi kemiliteran kita, yaitu doktrin itu sendiri," kata Andi.
Terkait dengan penyusunan doktrin OMSP TNI terkait operasi penanggulangan dan pemulihan bencana, Andi menyebut ada satu pertanyaan penting yang perlu dijawab, yaitu bagaimana kemajuan teknologi mempengaruhi penanggulangan dan pemulihan bencana.
"Pertanyaan utama yang perlu dijawab dalam penyusunan doktrin, yaitu melihat kemajuan teknologi militer baru. Pertanyaan dasarnya, apakah doktrin yang dibuat nantinya masih relevan atau justru ketinggalan zaman (obsolete)?" kata Andi.
Dalam forum yang sama, dia memaparkan saat ini teknologi penanggulangan dan pemulihan bencana pun berkembang. Teknologi-teknologi nirawak, kecerdasan buatan (AI), 3D printing, pemetaan berbasis satelit, menurut Andi, telah banyak digunakan di berbagai negara untuk penanggulangan dan pemulihan bencana.
"Drone (pesawat nirawak) memberikan informasi foto udara real-time yang krusial dalam menganalisis wilayah terdampak bencana dan memetakan korban-korban selamat, misalnya saja saat gempa bumi di Palu pada 2018, drone sangat berguna untuk memetakan daerah-daerah terdampak sehingga membantu mempercepat distribusi bantuan. Kemudian, ada satelit, teknologi ini membantu meningkatkan kesiapsiagaan karena dapat memberikan peringatan dini misalnya saat kebakaran hutan dan lahan di Australia pada 2020," kata Andi.
Baca juga: TNI AU: Bali International Airshow untuk tingkatkan industri aviasi
Dia melanjutkan ada juga AI yang dapat menganalisis data-data lingkungan kemudian itu menjadi bahan untuk memprediksi kemungkinan bencana. Kemudian, ada teknologi biometrik, yang sebagaimana disampaikan Andi, telah dipergunakan UNHCR dalam menyalurkan bantuan untuk pengungsi Rohingya.
"Ada juga teknologi 3D printing, yang sangat berguna untuk memproduksi kebutuhan esensial misalnya seperti perlengkapan medis," kata Penasihat Senior Lab 45 itu.
TNI Angkatan Udara dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menggelar Bali Regional Air and Space Power Forum 2024: The Future of Aerospace Technology and Its Role in Humanitarian Assistance and Disaster Relief Operation di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Selasa. Kegiatan itu dibuka oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Tonny Harjono.
Tonny Harjono, dalam sambutannya, menilai ada dua komponen penting dalam operasi penanggulangan bencana dan pemulihan bencana (HADR), yaitu penggunaan teknologi dan kerja sama atau kolaborasi. Dia menjelaskan teknologi seperti pesawat nirawak (UAV), satelit, dan Sistem C4ISR (Command, Control, Communication, Computer, Intelligence, Surveillance, dan Reconnaissance) terbukti vital dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi penanggulangan bencana.
"Namun, teknologi semata tidak cukup. Kerja sama internasional juga krusial dalam menghadapi kompleksitas HADR, yang terbukti peristiwa kebencanaan terkadang melampaui batas-batas negara sehingga penting untuk melanjutkan kerja sama yang ada," kata KSAU.
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2024