Jakarta (ANTARA News) - Atas berbagai pertanyaan tentang pencalonan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk Hadiah Nobel 2006, akhirnya Presiden keenam RI itu memberikan tanggapan, bahwa pihak-pihak yang berkontribusi atas perdamaian Aceh-lah yang lebih berhak atas anugerah internasional itu. Juru Bicara Kepresidenan, Andi Mallarangeng, kepada pers, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin sore, menyatakan, Presiden Yudhoyono merasa perlu memberikan pernyataan atas masalah itu, karena banyak kalangan baik dalam negeri dan luar negeri yang terus-menerus bertanya. Yudhoyono, dalam proses penentuan Hadiah Nobel Perdamaian yang panitianya dipangku oleh Yayasan Kerajaan Karolinska, banyak mendapat dukungan dari pribadi berpengaruh, lembaga internasional, serta pihak-pihak lain yang independen. Bukan cuma itu, Yudhoyono dalam pencalonan kali ini, masuk dalam urutan ketiga dari sekitar 163 orang dan badan lokal serta internasional yang disebut-sebut berpeluang besar ditetapkan sebagai peraih Nobel Perdamaian 2006. "Presiden, saya tirukan, meletakkan pencalonan ini dalam dua konteks, yaitu pertama, pengakhiran konflik yang ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki lalu, adalah keberhasilan yang disumbang banyak pihak," kata Andi. Pihak-pihak itu, katanya, mulai dari Ketua Tim Juru Runding Indonesia, Hamid Awaluddin, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memiliki peran sangat besar dalam proses perundingan ini, Wakil dari GAM, Malik Mahmud dan tim rundingnya, serta mantan Presiden Finlandia, Marti Ahtisaari, yang memotori pertemuan kedua tim itu. Tidak lupa, katanya, peran besar Panglima TNI saat itu, Jenderal TNI Endriartono Sutarto. TNI saat itu dan kini memberikan dukungan signifikan terhadap pencapaian perdamaian di Aceh selain peran konstruktifnya dalam proses demiliterisasi. Pihak lain yang berperan besar, katanya, adalah DPR, lembaga-lembaga negara, dan lembaga lain, yang turut bersusah-payah turut menyusun banyak perundangan soal Aceh. "AMM yang disumbang negara-negara anggota ASEAN dan Uni Eropa, juga berkontribusi besar, seperti juga halnya dengan pemerintah Aceh, DPRD Aceh, cendekiawan Aceh, dan pihak lain," kata Andi Mallarangeng. Konteks kedua yang ingin diletakkan Presiden Yudhoyono dalam pencalonannya kali ini, katanya, adalah bahwa proses perdamaian di Aceh tidak mungkin dilepaskan dari konteks kronologis perwujudan upaya damai sebelumnya. Periode itu, katanya, mulai dari periode "Humanitarian Pause and Moratorium" (2000-2001), "Cessation of Hostilities Agreement" (2002-2003), dengan berbagai keberhasilan dan hambatannya. Ada empat pilar utama yang harus juga menjadi kunci keberhasilan perwujudan perdamaian di Aceh itu, katanya, yaitu komitmen para pemimpin formal dan informal, kecakapan dan kegigihan para juru runding, dukungan dan loyalitas para pimpinan dan anggota TNI dan Polri, serta dukungan politik dari kalangan DPR. "Oleh karena itulah, jika Allah SWT menghendaki kita menerima Hadiah Nobel Perdamaian 2006, maka pihak-pihak yang saya sebutkan tadilah yang sesungguhnya berhak menerima penghargaan itu. Jika Nobel ini tidak diberikan kepada kita, sejarah tetap mencatat siapa saja yang telah berbuat baik untuk Aceh, bangsa, dan negara tercinta," katanya. Indonesia, kata Andi mengutip pernyataan tertulis Presiden Yudhoyono, menyerahkan kepada Panitia Hadiah Nobel, apakah hadiah itu akan diberikan kepada seorang putera Indonesia atau tidak. Kalau yang terbaik untuk bangsa adalah menerimanya, maka Tuhan pasti memberikan jalan. "Sebaliknya, jika yang terbaik adalah tidak menerimanya, pasti Tuhan akan menentukan demikian," katanya . Di akhir pernyataannya, kutip Andi, Presiden menekankan, yang lebih penting bagi Indonesia sebagai bangsa dan bagian masyarakat internasional, adalah bagaimana proses perdamaian dan pengakhiran konflik di Aceh itu bisa diwujudkan secara baik.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006