Jakarta, 23 Mei 2014 (ANTARA) - Isu strategis pembangunan kelautan lima tahun kedepan akan lebih berorientasi pada pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumberdaya kelautan. Potensi ekonomi kelautan yang dimiliki Indonesia apabila dikelola dan dimanfaatkan secara efektif dan efisien akan mampu mendukung pencapaian visi pembangunan Indonesia menjadi salah satu negara maju pada tahun 2025 mendatang. Namun pengembangan potensi ekonomi kelautan saat ini masih terkendala dengan aspek regulasi dan informasi. Harmonisasi dan sinkronisasi regulasi antar sektor maupun antara pusat dan daerah merupakan tantangan yang memerlukan solusi mendasar perlunya norma hukum yang mengatur tata kelola laut. Selain itu, basis data yang memiliki sifat kesatuan data potensi investasi maupun model bisnis sektor yang memanfaatkan laut merupakan referensi penting untuk berkembangnya minat investor kelautan. Demikian ditegaskan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo di Jakarta, Jumat (23/5).

Menurut Sharif, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan beberapa kebijakan untuk optimalisasi pemanfaatan ekonomi sumberdaya kelautan. Di antaranya, pengembangan industri kelautan antara lain produksi garam dan produk turunannya, bioteknologi dan biofarmakologi laut, pemanfaatan air laut dalam, marikultur, industri pengolahan hasil kelautan, dan pengembangan ekonomi sumberdaya non konvensional dan energi terbarukan. Termasuk pengembangan jasa kelautan antara lain melalui pegembangan wisata bahari, pengelolaan pipa kabel bawah laut, pengelolaan bangunan laut, dan jasa kelautan lainnya. “Serta peningkatan peran Indonesia dalam pemanfaatan sumber daya perikanan tuna di perairan internasional,” jelasnya.

Sharif menjelaskan, saat ini Indonesia telah tercatat menjadi anggota dari Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (Regional fisheries management organisations /RFMOs) yang melingkupi perairan Indonesia.  Yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission on Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan terakhir Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). Langkah pemerintah Indonesia, yang difasilitasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjadi anggota RFMOs mempunyai nilai strategis.  Dengan menjadi anggota RFMOs, Indonesia memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam pengelolaan dan pemanfaatan tuna untuk perekonomian Indonesia. “Terlibat aktif di Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional, akan semakin memperkuat keterlibatan dan kontribusi Indonesia dalam pengelolaan tuna di tingkat regional,” katanya.

Sharif menegaskan, Indonesia perlu menjadi anggota Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional karena mandat UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Di mana pasal 10 ayat (2) menyebutkan, pemerintah ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerja sama pengelolaan perikanan regional dan internasional. Kemudian pada butir (e) Penjelasan UU No. 21 Tahun 2009 disebutkan, negara yang melakukan kegiatan perikanan di laut lepas dan negara pantai terkait wajib menjadi anggota organisasi regional yang ada atau mendirikan organisasi regional. “Indonesia sendiri berkepentingan menjadi anggota RFMOs mengingat Indonesia merupakan negara dengan potensi tuna tertinggi di dunia. Tercatat, total produksi tuna mencapai 613.575 ton per tahun dan nilai sebesar 6,3 triliun rupiah per tahun. “Dengan didukung wilayah geografis yang mencakup 2 samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, Indonesia menjadi negara penting bagi perikanan tuna global baik dari sisi sumberdaya, habitat dan juga perdagangan” tandasnya.

Mariculture
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto pada acara Focus Group Discussion (FGD) Pengelolaan Sumber Daya Kelautan di IPB International Convention Center Bogor menjelaskan, salah satu optimalisasi ekonomi kelautan adalah meningkatkan potensi marikulture. Apalagi budidaya laut atau mariculture saat ini menjadi usaha yang mempunyai prospek cerah dan peluang sangat besar. “Luas indikatif potensi lahan pengembangan budidaya laut nasional sebesar 8,36 juta ha sampai tahun 2011 baru dimanfaatkan untuk usaha mariculture sekitar 169.292 ha atau 3,69%”, tegasnya.

Selain rumput laut, berbagai jenis ikan konsumsi nilai jual tinggi bisa dikembangkan dalam mariculture. Di antaranya ikan Kerapu, Bawal bintang, Kakap putih dan Kakap merah merupakan komoditi ekspor yang banyak diminati pasar luar negeri.  Prospek pengembangan budidaya laut khususnya pada area off shore mempunyai peluang besar sebagai alternative usaha yang prospektif bagi masa depan perikanan budidaya. “Strategi budidaya laut kedepan melalui pengembangan budidaya laut lepas pantai atau Offshore Farm Fish berbasis pola pengembangan kawasan melalui pola kemitraan,” jelas Slamet.

KKP melalui Ditjen Perikanan Budidaya telah melakukan upaya strategis dalam mempercepat pengembangan kawasan budidaya laut.  Jenis ikan konsumsi yang mempunyai nilai jual tinggi. Seperti ikan Kerapu, Bawal Bintang dan Kakap Putih menjadi pilihan untuk dibudidayakan. Pertimbangannya, jenis ikan tersebut merupakan komoditi ekspor yang banyak diminati pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Untuk pengembangan ikan Kerapu, KKP telah menetapkan 10 propinsi untuk dijadikan model percontohan atau demfarm budidaya laut. Wilayah ini memang selama ini merupakan sentra produksi ikan kerapu. “Provinsi penghasil utama ikan Kerapu yaitu Provinsi  Sumatera Utara, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Aceh, Provinsi Lampung, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Papua Barat,  Provinsi NTB, Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku”, sebut Slamet.

Pengelolaan WPP
Pada acara yang sama, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Gellwyn Jusuf menjelaskan, untuk mengoptimalkan potensi kelautan KKP telah melakukan penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan Wilayah Pengelolaan Perikanan (RPP-WPP) di Indonesia. Di antaranya, untuk mendukung program industrialisasi perikanan telah ditetapkan satu WPP baru yakni WPP 718, yang meliputi wilayah perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor Bagian Timur. Peluncuran RPP WPP 718 tersebut sebagai  komitmen nyata pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perikanan, untuk merevitalisasi pengelolaan perikanan tangkap di laut Arafura dan sekitarnya. Apalagi laut Arafura dan sekitarnya sebagai salah satu kawasan perikanan tersubur di dunia.

Dengan implementasi RPP ini diharapkan devisa negara dapat ditingkatkan serta industri perikanan lokal di Provinsi Maluku, Papua dan Papua Barat akan tumbuh dan berkembang. Efek selanjutnya, lapangan kerja bagi masyarakat lokal tercipta luas. Diperkirakan minimal untuk 15.000 tenaga kerja bisa terlibat di dalamnya serta tersedia data pengelolaan perikanan yang lebih akurat.  “Multiplier effect dari perkembangan industri perikanan tersebut akan menggerakkan sektor produksi dan jasa lainnya di wilayah ini,” ujar Gellwyn.

Menurut Gellwyn, RPP WPP 718 disusun secara aspiratif dan terpadu dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.  RPP disusun bertujuan untuk melakukan upaya terprogram dalam pengelolaan SDI dan memerangi kegiatan perikanan ilegal yang marak terjadi di wilayah ini. Sehingga sumberdaya ikan dan ekosistemnya terselamatkan dari kegiatan pencurian nelayan asing atau kegiatan IUU fishing lainnya.  RPP ditetapkan juga sebagai bentuk tanggung jawab negara dan pelaku perikanan sebagaimana yang diamanatkan oleh norma global tentang tata kelola perikanan yang bertanggung jawab. “RPP WPP-718 ini mendapat dukungan TNI AL, POLRI, Para Gubernur Maluku, Papua, dan Papua Barat, 8 Bupati Kepala Daerah sekitar WPP 718, Pengusaha Perikanan, Perwakilan Negara Sahabat dan Lembaga Internasional, serta lembaga swadaya masyarakat,” jelasnya.

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Anang Noegroho, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (HP. 0811806244)



Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2014