Tidak perlu ada lagi dendam sejarah yang diwariskan kepada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu dan terlibat pada berbagai peristiwa kelam.

Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menuturkan bahwa pimpinan MPR mendorong agar presiden ke-2 RI H.M. Soeharto dan presiden ke-4 RI K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendapat gelar pahlawan nasional.

Menurut Bamsoet (sapaan akrab Bambang Soesatyo), jangan sampai ada warga negara Indonesia, apalagi seorang pemimpin bangsa yang harus menjalani sanksi hukuman tanpa adanya proses hukum yang adil.

"Tidak perlu ada lagi dendam sejarah yang diwariskan kepada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu dan terlibat pada berbagai peristiwa kelam pada masa lalu," kata Bamsoet usai Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan 2019—2024 di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu.
Bamsoet menekankan bahwa sudah sepantasnya dalam kerangka itu MPR merajut persatuan bangsa.

Oleh karena itu, pimpinan MPR RI mendorong agar jasa dan pengabdian dari mantan Presiden RI Ir. Soekarno, mantan Presiden Soeharto, dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid dapat mendapat penghargaan yang layak.
Ia mengatakan bahwa MPR telah menerima surat dari Fraksi Partai Golkar tertanggal 18 September 2024 perihal kedudukan Pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 yang membahas soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Pimpinan MPR pun menurutnya bersepakat perihal kedudukan hukum Pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 menyatakan masih berlaku oleh TAP MPR Nomor I/MPR/2003.
Namun, kata dia, terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP Nomor XI/MPR/1998 secara pribadi Pak Harto (sapaan akrab presiden ke-2 RI) dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah wafat.

Baca juga: Cak Imin: Pemulihan nama baik kuatkan argumen Gus Dur jadi pahlawan
Baca juga: Telaah - Soeharto, pahlawan di hati rakyat Indonesia

Selain itu, lanjut Bamsoet, pimpinan MPR juga menerima surat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa perihal Kedudukan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang berisi pemberhentian sebagai presiden.

Berdasarkan kesepakatan rapat gabungan, pimpinan MPR menegaskan bahwa ketetapan MPR tersebut saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi, sebagaimana dinyatakan oleh Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

"Seluruh hal tersebut dilaksanakan pimpinan MPR sebagai bagian dari penyadaran kita bersama untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional dan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan," kata dia.

Ia menegaskan bahwa MPR adalah aktualisasi dari permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia. Maka, sudah sepantasnya dalam kerangka itu MPR merajut persatuan bangsa.

"Layaknya benang yang mengikat kain berbagai warna, MPR menganyam harapan dan cita-cita bangsa dalam satu harmoni," kata Ketua MPR RI Bambang Soesatyo.

Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024