DJP berkomitmen kerahasiaan data wajib pajak dijaga dengan ketat, terutama data pelaksanaan hak dan kewajiban.

Serang, Banten (ANTARA) - Kepala Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Muchamad Arifin mengatakan bahwa pihaknya berkomitmen untuk menjaga data pribadi para wajib pajak pada core tax system, agar tidak terjadi kebocoran.

“Kami ada budget untuk jaga keamanan kami. DJP berkomitmen kerahasiaan data wajib pajak dijaga dengan ketat, terutama data pelaksanaan hak dan kewajiban,” kata Muchamad Arifin, di Serang, Banten, Kamis.

Data log access dalam enam tahun terakhir menunjukkan tidak ada indikasi kebocoran data langsung dari sistem informasi DJP, sehingga ia meminta masyarakat untuk tidak khawatir.

Ia menuturkan bahwa core tax system tersebut akan menggabungkan sejumlah data dari Kemenkeu dengan data-data dari berbagai instansi, lembaga, dan asosiasi terkait.

Arifin menyatakan bahwa tujuan pengembangan sistem tersebut adalah untuk meningkatkan penerimaan negara melalui pemadanan data wajib pajak, terutama bagi para wajib pajak yang bekerja di sektor informal, seperti UMKM.

“Idealnya kalau di negara maju justru pajak orang pribadi jadi penopang penerimaan pajak. Orang pribadi kan banyak di sektor UMKM yang biasanya informalitasnya tinggi dan tidak masuk sistem perpajakan, berbeda dengan badan usaha yang harus tercatat (dalam sistem) dulu,” katanya.

Dengan pemadanan data tersebut dapat terlihat siapa pemilik Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sehingga penerimaan pajak dapat lebih optimal.

Ia menuturkan bahwa menurut studi Bank Dunia (World Bank), perbaikan sistem administrasi serta informasi dan teknologi perpajakan dapat menyumbang kenaikan pajak hingga 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Meskipun begitu, Arifin mengatakan bahwa kenaikan tersebut tidak dapat terjadi segera satu tahun setelah penerapan sistem baru yang ditargetkan untuk diluncurkan pada akhir 2024 tersebut.

“Angka 1,5 persen dari PDB itu (dapat tercapai) sekitar 5 tahunan, tapi itu kan studi dari World Bank, jadi belum tentu juga di Indonesia kalau diterapkan itu sama,” katanya pula.

Sebelumnya, data NPWP diduga bocor usai pendiri Ethical Hacker Indonesia Teguh Aprianto mengunggah tangkapan layar situs Breach Forums.

Melalui akun X @secgron, dia menyebut sebanyak 6 juta data NPWP diperjualbelikan dalam situs itu oleh akun bernama Bjorka pada 18 September 2024.

Selain NPWP, data yang juga terseret di antaranya Nomor Induk Kependudukan (NIK), alamat, nomor handphone, email, dan data-data lainnya. Harga jual seluruh data itu mencapai Rp150 juta.

Dalam cuitan yang sama, Teguh mengatakan data yang bocor juga termasuk milik Presiden Joko Widodo (Jokowi) serta putranya Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.

Selain mereka, sejumlah menteri juga termasuk dalam daftar, seperti Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, hingga Menteri BUMN Erick Thohir.

Informasi mengenai kebocoran data NPWP itu, juga diunggah oleh perusahaan keamanan siber Falcon Feeds di platform X.

Namun, dalam pernyataannya, mereka menyebut keaslian informasi itu belum terverifikasi.
Baca juga: Pernyataan Kemenkominfo tentang proses penelusuran kebocoran NPWP
Baca juga: DJP bantah adanya kebocoran data NPWP

Pewarta: Uyu Septiyati Liman
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024