Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan bahwa peristiwa perampasan hak asuh anak oleh mantan suami dikenali sebagai tindak kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
Menurut Komnas Perempuan, ini adalah cara yang digunakan pelaku untuk menyatakan kuasa kendali suami/laki-laki pada pihak istri/perempuan ataupun sebagai balas dendam atas kondisi yang tidak dapat ia kendalikan ketika istri bersikeras untuk bercerai.
“Tindak perampasan hak asuh anak ini menyebabkan penderitaan psikis yang berkepanjangan dan dapat berdampak pada kesehatan rohani dan jasmani pada perempuan,” kata Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Alimatul Qibtiyah, dan Theresia Iswarini dalam pernyataan bersama yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu.
Diberitakan sebelumnya, lima orang ibu mengajukan uji materi Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum. Aelyn Hakim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani mempersoalkan frasa "barang siapa" dalam pasal tersebut.
Pada Kamis (26/9), Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan para pemohon. Akan tetapi, dalam pertimbangan putusan, MK menegaskan bahwa orang tua kandung yang mengambil anak secara paksa tanpa hak atau izin dapat dipidana, sebab tindakan tersebut termasuk dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP.
Komnas Perempuan mencatat, pengalaman pemohon judicial review yang diajukan lima perempuan yang menghadapi situasi perampasan hak asuh anak oleh mantan suami pascaperceraian mereka merupakan situasi yang juga dialami oleh banyak perempuan.
Berdasarkan data pelaporan langsung kepada Komnas Perempuan dalam rentang tahun 2019 hingga 2023, tercatat sebanyak sepertiga atau 93 dari total 309 kasus kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami (KMS) adalah terkait pengasuhan anak.
Sebanyak 44 di antara 93 kasus tersebut terjadi meskipun para ibu itu telah mendapatkan hak pengasuhan anak berdasarkan keputusan pengadilan.
Perebutan hak asuh anak juga ditemukan dalam kasus ketika proses perceraian masih berlangsung. Sejumlah suami dengan sengaja menyembunyikan atau memutus hubungan anak dengan ibunya.
Tindakan tersebut, catat Komnas Perempuan, dilakukan untuk menyandera pihak istri agar tidak jadi menggugat cerai, atau dimaksudkan untuk memberikan penderitaan kepada pihak istri yang berkepanjangan.
Dalam rentang 2019-2023, Komnas Perempuan mencatat 222 kasus kekerasan terhadap istri (KTI) yang juga terkait dengan perebutan anak dari 3.079 total kasus KTI.
Oleh sebab itu, Komnas Perempuan mengapresiasi putusan MK No. 140/PUU-XXI/2023 terkait kepatuhan pada putusan pengadilan atas hak pengasuhan anak pada pasangan yang bercerai. Putusan ini merupakan langkah penting dalam memperkuat akses perempuan pada hak keadilan dan hak perempuan terkait perkawinan serta memberikan kepastian hukum karena menghapus celah multitafsir pada Pasal 330 Ayat (1) KUHP.
Baca juga: Komnas: Kembangkan pengetahuan untuk inovasi pencegahan kekerasan
Baca juga: Komnas Perempuan sebut keluarga berperan penting ajarkan kesetaraan
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024