Jakarta, 30/5 (ANTARA) -- Untuk dapat melaksanakan arah kebijakan pembangunan kelautan tahun 2015-2019 diperlukan kerangka regulasi yang kuat sebagai dasar utama. Diantaranya untuk tata kelola laut, saat ini sudah ada regulasi terkait yakni Undang - undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil. Namun masih diperlukan UU yang bisa mengadopsi semua kepentingan dilaut, yakni UU kelautan. Adanya UU kelautan, menunjukkan besarnya komitmen negeri ini untuk menetapkan politik pembangunan kelautannya. Demikian ditegaskan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo, di Jakarta, Jumat (30/5).

Menurut Sharif, Undang - Undang Kelautan ini dapat menjadi pondasi kuat yang dapat mengarahkan pembangunan nasional yang berorientasi archipelago  menjadi negara maritim yang kuat, tangguh dan mandiri. UU ini nantinya juga mendukung penataan ruang wilayah kelautan dan penjagaan kedaulatan serta terwujudnya industri kelautan yang maju secara berkesinambungan. Termasuk mengembangkan pengetahuan kebaharian pada masyarakat. Melihat dari struktur RUU Kelautan, terlihat bahwa RUU ini bersifat lex-generalis. Oleh karena itu, UU sektoral yang lain harus menyesuaikan dengan RUU Kelautan. "Dengan UU ini nantinya bisa membentuk pemerintahan yang berorientasi pada pembangunan kelautan  atau ocean governance," tegasnya.

Sharif menjelaskan, maksud dan tujuan penyusunan RUU tentang Kelautan, antara lain adalah sebagai tindak lanjut UNCLOS 1982, memperkuat kebijakan yang sudah ada dalam pembangunan ekonomi bangsa secara nasional. UU Kelautan akan melengkapi kebijakan yang belum ada di bidang kelautan, dan meniadakan/meminimalisir kebijakan yang saling melemahkan.  Keuntungan RUU tentang Kelautan untuk daerah, antara lain dalam hal perhitungan DAU yang berbasiskan daratan selama ini sangat merugikan daerah kepulauan, batasan perairan pedalaman yang belum jelas sampai sekarang, dan penguatan sumber daya manusia. "Kebutuhan kelembagaan untuk Tata kelola laut juga diperlukan penguatan lembaga pengelola Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) serta penguatan Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional," jelasnya.

Menurut Sharif, untuk mendukung tata kelola laut, selain UU Kelautan diperlukan juga regulasi yang lain. Diantaranya, Peraturan Presiden (PP)tentang Kebijakan Kelautan Indonesia, PP tentang Ijin Lokasi dan Ijin Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Pesisir serta Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil (RZWP-3-K). Rencana zonasi merupakan instrumen penataan ruang yang menjadi dasar dalam pemberian ijin pemanfaatan ruang di perairan pesisir. Rencana zonasi menjadi alat kontrol untuk keseimbangan pemanfaatan, perlindungan pelestarian, dan kesejahteraan masyarakat sekaligus berfungsi  memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam pemanfaatan perairanpesisir. "Rencana zonasi memungkinkan untuk menata perairan wilayah pesisir agar tidak terjadi konflik dalam penggunaannya, dimana semua ruang dialokasikan pemanfaatannya secara transparan dan ilmiah sesuai dengan kelayakan dan
kompatibilitas," jelasnya.

 
Isu Strategis


Menurut Sharif, ada beberapa isu strategis tentang mekanisme koordinasi dan kelembagaan arah kebijakan pembangunan kelautan yang bisa dilakukan pada pemerintahan mendatang. Diantaranya, tentang ekonomi kelautan. Untuk isu ini ada regulasi terkait yang sudah ada, yaitu KeppresNomor 78 Tahun2005 tentang Pengelolaan Pulau - Pulau Kecil terluar dan Perpres Nomor122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil. "Namun masih diperlukan regulasi lain terutama yang menyangkut Roadmap tentang Pengembangan Industri Kelautan, Peraturan tentang ijin investasi di pulau - pulaukecil serta Peraturan Pemerintah Daerah tentang Reklamasi,"
ujarnya.

Menurut Sharif , pengawasan sumber daya dan lingkungan juga menjadi isu penting pada  arah kebijakan pembangunan kelautan tahun 2015-2019.  Untuk pelaksanaan, beberapa regulasi sudah siap sebagai landasannya. Diantaranya, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimanadi ubah dengan UU Nomor 45 Tahun 2009, UU Nomor 34 Tahun2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UU Nomor2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia serta UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. "Adapun kebutuhan regulasi lain yang diperlukan adalah tentang Peraturan tentang pengawasan sumberdaya kelautan non hayati," tambahnya.

Sharif menambahkan, masalah konservasi  dan peningkatan dan penguatan SDM dan Iptek bidang kelautan, juga menjadi isu strategis. Apalagi untuk masalah ini sudah ada regulasi yang mendukungnya. Yaitu UUNomor1 Tahun 2014 tentang Perubahanatas UU Nomor27 Tahun 2007 tentangPengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil dan PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Sedangkan kebutuhan regulasi untuk mendukungnya, terutama Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi. " Sedangkan kebutuhan kelembagaan untuk mendukung peningkatan dan penguatan SDM dan Iptek Bidang Kelautan, diantaranya pembentukan lembaga alih teknologi di pusat dan daerah serta penguatan lembaga pengelolaan data kelautan nasional," tambahnya.

Dalam rangka membahas arah kebijakan pembangunan kelautan tahun 2015-2025 terutama tentang Regulasi dan Reformasi di Bidang Kelautan, hari ini, Jumâ'at (30/5) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengadakan Focus Group Discussion (FGD)di Universitas Indonesia, Depok. FGD tersebut merupakan rangkaian kegiatan roadshow  kebeberapa perguruan tinggi di Indonesia dalam rangka mengkampanyekan visi negara kepulauan. Sebelumnya FGD telah dilaksanakan di Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Hasanudin (UNHAS) Makasar.

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Anang Noegroho, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (HP. 0811806244)


Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2014