"Pada tahun ini kita sudah menyensor 40.000 film yang akan ditayangkan di bioskop, televisi, persewaan dan jaringan informatika," kata Wakil Ketua LSF Noorca M Massardi saat membuka sosialisasi gerakan budaya nasional sensor mandiri di Pangkalpinang, Rabu.
Ia mengatakan penyensoran materi, judul dan iklan film ini sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, di mana setiap film yang akan diedarkan wajib mendapatkan surat tanda lulus sensor dari LSF.
"Masalahnya, LSF yang hanya beranggotakan 17 orang ini tidak mungkin bisa melakukan penelitian terhadap seluruh materi film yang ada, terutama materi film di jaringan informatika, karena seluruh masyarakat dapat mudah menonton melalui telepon genggam cerdas," ujarnya.
Ia menyatakan pengawasan di jaringan informatika ini di luar kewenangan LSF, tetapi kewenangan Kemenkominfo yang didasarkan pada undang-undang penyiaran.
"Sejak 2009 hingga saat ini belum ada peraturan pemerintah, presiden dan menteri tentang jaringan informatika, sehingga undang-undang perfilman tidak mampu masuk ke ranah jaringan internet," katanya.
Menurut dia gerakan budaya nasional sensor mandiri ini sebagai langkah LSF mencegah film-film mengandung pornografi, kekerasan, perjudian, pelecehan, perendahan terhadap harkat dan martabat serta penodaan terhadap agama, kemanusiaan yang memberikan dampak negatif di masyarakat.
"Pada tahun ini, kami sedang melakukan sosialisasi gerakan sensor mandiri di 120 lokasi dan ditargetkan selesai November tahun ini," katanya.
Ia menambahkan LSF bertugas melakukan penelitian dan penilaian terhadap film yang akan ditayangkan di masyarakat untuk diberikan klasifikasi.
"LSF bukan lagi sebagai lembaga yang memotong atau mengunting film, tetapi hanya memberikan penilaian dan mengklasifikasikan sesuai usia semua umur, 13 tahun, 17 tahun, dan 21 tahun," katanya.
Baca juga: Alasan film Indonesia harus disensor
Baca juga: LSF: Proses penyensoran film hormati kebebasan kreatif
Pewarta: Aprionis
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024