Ia lahir di Balikpapan, 15 Oktober 1962 dari pasangan Allen Haque-Mieke Haque.
Icha, begitu panggilan akrabnya, meninggalkan suami, musisi dan pengusaha Ikang Fawzi, serta dua anak, Isabella Fawzi dan Chiki Fawzi.
Saya mengenal Icha lebih 40 tahun, saat mengawali debutnya sebagai bintang film lewat film pertamanya "Kembang Semusim". Film itu disutradarai MT Risjaf dan diproduksi tahun 1980. Icha berusia 18 tahun ketika bermain film itu.
Icha satu di antara sedikit artis Indonesia yang menorehkan catatan gemilang di berbagai bidang pengabdian. Ia mencapai jenjang pendidikan tinggi, hingga bergelar profesor, guru besar.
Selasa (1/10), kurang dua puluh empat jam sebelum wafat, ia masih mengajar di kampus. "Kami mengajar di kampus yang sama, STIE IBS Kemang, Jaksel. Selasa kemarin masih mengajar dan nampak bugar." Ini saya kutip dari pernyataan sesama dosen yang beredar di beberapa WAG tadi pagi. Serasa tak percaya tapi nyata. Tapi, begitulah takdir Ilahi bekerja.
Cawagub Banten
Icha tidak hanya menggeluti dunia film dan pendidikan, tetapi juga dunia politik. Istri rocker Ikang Fawzi ini pernah menjadi Anggota DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan.
Pernah juga dia diusung maju menjadi calon wakil gubernur Banten berpasangan dengan Zulkieflimansyah sebagai calon gubernur. Namun, menjelang penetapan KPU, PDI Perjuangan yang mengusungnya mendadak mencabut dukungan untuk Icha dan mengalihkan sokongannya, justru kepada pesaingnya, yaitu Ratu Atut Chosiyah yang diusung Golkar.
Icha kecewa dan wajar jika murka. Tampaknya, itu pelajaran berharga pertama Icha di dalam dunia politik. "Tiada lawan dan kawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan," kata ungkapan klasik dalam politik. Saya menulis ulasan waktu itu, di tahun 2006, merespons peristiwa politik yang dialami Icha.
Sebagai akademisi (waktu itu kandidat doktor di Institut Pertanian Bogor), pasti sulit baginya yang biasa berpikir runut, sistematis, terukur, menerima sisi "gelap" dinamika politik yang mudah berubah.
Hal sama pernah dialami aktor kawakan Sophan Sophiaan, yang akhirnya memilih mundur sebagai anggota DPR RI. Ada kesamaan Sophan dan Icha. Sama-sama lurus dan ekstrovert. Bersikap tegas dan berbicara terbuka. Sehingga, pengalaman pahit politik mereka menjadi konsumsi publik.
Tentu, termasuk sikap pragmatis partai yang mengutamakan kekuasaan. Dalam tulisan itu, saya menilai Icha belum "matang" berpolitik. Lupa, DNA parpol harus "berhitung siapa mendapat apa". Kalkulasi parpol pengusungnya, secara elektoral Ratu Atut tidak bisa dikalahkan. Berbagai survei menyajikan data-data kedigdayaannya. Maka, parpol pengusung Icha pun memilih balik kanan mendukung lawan.
Icha tampaknya tidak memperhitungkan soal pentingnya bagi parpol meraih kekuasaan ketimbang yang lain, yang sebenarnya lebih utama: etika dan moral. Marissa dan Sophan berbasis itu dalam berpolitik.
Icha tidak sepenuhnya menerima pikiran saya dalam tulisan mengenai itu. Ia bahkan memprotesnya. Dia mengunjungi saya di kantor, menyampaikan protesnya, dan saya penuh takzim mendengarkan saja. Toh, sebenarnya, tulisan yang mengulas kasus Banten itu, bersifat satire.
Sisi lain membenarkan dia, yang berpegang pada komitmen etika dan moral. Namun, itu tidak berlaku dalam politik. Setidaknya, dalam kasus dia ditelikung parpol pengusungnya di Banten.
Pemeran Iyom, gadis bisu
Di dunia film Icha belasan tahun berjaya, membintangi puluhan judul film. Ia juga mengantongi Piala Citra untuk Aktris Terbaik, lambang supremasi tertinggi dunia film Indonesia. Selanjutnya, ia tidak hanya sebagai pemain, juga sebagai produser dengan memproduksi sejumlah film.
Sebagai bintang, karirnya semakin moncer saat membintangi film "Matahari-Matahari" (1985) yang disutradarai oleh Arifin C Noer. Film itu bercerita tentang warga yang karena terdesak kemiskinan akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Jakarta bersama istri dan anaknya yang bisu. Bukannya mendapatkan penghidupan yang lebih baik, warga malah berada di bawah pengaruh Sarkim, raja pengemis.
Icha bermain sebagai Iyom, gadis bisu. Film itu menjadi andalan Icha untuk meraih Piala Citra di Festival Film Indonesia tahun 1986.
Saya mengulas film itu sebagai film bagus namun justru tidak melihat Icha berhasil memerankan tokoh Iyom yang gagu. Gestur Icha lebih tampak seperti memerankan tokoh idiot. Icha marah membaca itu. Dia menelpon saya, memprotes, seperti biasalah.
Pada waktu pengumuman nominasi Festival Film Indonesia di TVRI, Icha hadir. Kekecewaannya membuncah menyaksikan pengumuman Dewan Juri FFI tidak menominasikan dia sebagai Aktris Terbaik. Peristiwa tersebut menjadi halaman utama di berbagai media.
Dari berita itu saya mengetahui, ternyata Icha meninggalkan studio TVRI dengan airmata berlinang. Ada juga media yang memberitakan lebih jauh, Icha langsung terbang ke Surabaya menemui Ikang Fawzi, pacarnya waktu itu. Mengenai kebenaran berita tersebut, wallahualam. Saya tidak pernah konfirmasi.
Sekolah film di Amerika
Berdasarkan rekomendasi Prof Salim Said, Icha sempat ke Amerika Serikat untuk belajar film. Namun, entah mengapa sepulang dari sana Icha malah terjun ke politik. Icha kawan diskusi yang baik, asal tahan saja kerasnya dia berpegang pada pandangan yang dia yakini.
"Eh, tahu nggak kalian, bosmu itu dulu naksir saya. Dia sering ke rumah. Makanya, dia senang banget ngritik saya," kata Icha kepada wartawan Cek&Ricek yang mewawancarainya suatu ketika.
Meski kata itu sering diulangnya, secara serius, bahkan di depan saya sendiri, misalnya ketika berkunjung ke kantor redaksi C&R, tetapi pastilah dia hanya bercanda.
Di masa kejayaannya, Marissa memang bagai magnet perfilman Indonesia. Menjadi media darling. Berita tentang artis cantik dan kaya raya ini hampir setiap hari diekspos wartawan. Di masa kegemilangan Icha, serasa tidak sah menjadi wartawan tanpa mengenal atau dikenal oleh yang bersangkutan.
Saya beberapa kali mewawancarai dia di rumahnya yang luas dan megah di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Mengenal saudara-saudaranya, Soraya Haque dan Shannaz Haque. Bahkan dengan Shannaz kami sempat bekerja sama, dia presenter pertama program TV kami, "Buletin Sinetron", yang tayang di RCTI. Begitu pun dengan suami masing- masing, Ikang Fawzi, Ekki Sukarno, dan Gilang Ramadhan.
Tiada lagi Marissa Haque. Diantar suami, anak, keluarga besar, kerabat, dan handai taulan, jenazahnya dikebumikan pada Rabu siang di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Semoga Allah SWT memberinya tempat lapang, nyaman, dan indah di sisi-Nya. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun.
Baca juga: Keluarga iringi pemakaman jenazah Marissa Haque
Baca juga: Anies Baswedan kenang keteladanan Marissa Haque
Pewarta: Catatan Ilham Bintang
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2024