"Prinsip sertifikasi halal retailer itu adalah sertifikasi terhadap jasa. Jadi bukan produk tapi jasa. Di mana jasa ini harus bisa memberikan jaminan bahwa produk yang ditangani tetap dalam kondisi halal, tidak terkontaminasi produk-produk nonhalal," ujar Direktur Utama LPPOM MUI Muti Arintawati di Jakarta, Kamis.
Sertifikat halal untuk jasa atau perusahaan retailer memberikan persepsi yang beragam di masyarakat. Sebagian memahami bahwa sertifikasi halal jasa retailer oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) bukan berarti seluruh produk yang dijual sudah dipastikan halal.
Sebagian lainnya beranggapan bahwa sertifikat halal pada jasa retailer menandakan kehalalan seluruh produk di dalamnya. Menurut Muti, hal ini patut menjadi perhatian serius agar salah paham yang ada di masyarakat tidak terus mengakar.
Baca juga: LPPOM MUI: Penamaan Wine berasosiasi dengan nama warna bukan pangan
Muti menekankan bahwa jasa retailer terkait makanan dan minuman termasuk dalam kategori yang wajib bersertifikat halal sesuai PP No. 39 tahun 2021. Sejumlah persyaratan wajib diimplementasikan oleh perusahaan untuk memenuhi kewajiban tersebut. Salah satunya memisahkan fasilitas antara produk yang halal dan haram.
"Sertifikasi halal jasa retailer meliputi proses penanganan arus bahan atau produk yang harus bebas dari najis yang berpotensi mengkontaminasi bahan/produk halal," kata Muti.
Adapun ruang lingkupnya mencakup pergudangan, distribusi (penerimaan barang), penanganan dan penyimpanan, serta pemajangan. Artinya, seluruh produk yang bersertifikat halal terjamin tidak terkontaminasi najis hingga sampai di tangan konsumen.
Menurutnya, produk yang ditangani retailer yang ingin mendapatkan sertifikat halal harus diidentifikasi dan ditangani sesuai standar. Ada tiga kategori produk dalam jasa retailer yang perlu penangan berbeda.
Pertama, produk yang jelas halal (seperti buah dan sayur) atau memiliki sertifikat halal tidak perlu handling khusus. Kedua, produk haram seperti daging babi dan minuman keras harus dipastikan secara fasilitas tidak mengkontaminasi produk yang sudah halal serta diberikan penanda yang jelas.
"Ketiga, produk yang belum jelas status kehalalannya agar tidak mengkontaminasi produk yang telah disertifikasi halal," kata dia.
Baca juga: Asosiasi minta BPJPH-MUI bersinergi guna mempermudah sertifikasi halal
Selain itu, perusahaan perlu memiliki prosedur tertulis dengan dokumentasi terpelihara, di antaranya terkait penerimaan, penanganan, proses dan penyimpanan, ketertelusuran penanganan produk, penanganan produk yang tidak sesuai kriteria, pelatihan personel, serta audit internal dan kaji ulang manajemen.
Berdasarkan data BPJPH per September 2024, sudah ada 48 perusahaan retailer yang sudah disertifikasi halal. Sejumlah 28 perusahaan retailer diantaranya sudah disertifikasi halal melalui pemeriksaan LPPOM.
Sebelumnya, pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) beserta regulasi turunannya mewajibkan seluruh produk yang beredar wajib bersertifikat halal.
Masa tenggang terdekat jatuh tempo pada 17 Oktober 2024 untuk empat jenis produk, di antaranya makanan minuman sebagai end product sepeti bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong untuk makanan minuman.
Lalu, jasa dan produk sembelihan, serta seluruh jasa yang berkaitan dengan proses makanan minuman sampai ke konsumen (maklon, logistik, retailer).
Baca juga: LPPOM MUI: Penundaan wajib halal 2024 harus diiringi perhatian di hulu
Baca juga: LPPOM MUI fasilitasi halal 744 UMK dukung wisata ramah Muslim
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024