Sayang kalau misalnya cukai ini tidak naik, akhirnya nggak sinkron antara aturan regulasi yang sudah dibuat dengan implementasi kebijakannya. Itu akan menyisakan gap yang sangat besarJakarta (ANTARA) - CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih mengatakan jika cukai rokok tidak naik, maka hal tersebut bertentangan dengan upaya untuk mengeradikasi Tuberkulosis (TBC) pada 2030, karena salah satu penyebab TBC adalah rokok.
Dalam konferensi pers daring di Jakarta, Kamis, Diah mengatakan terdapat janji di tingkat nasional terkait target capaian kesehatan, contohnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
"Sayang kalau misalnya cukai ini tidak naik, akhirnya nggak sinkron antara aturan regulasi yang sudah dibuat dengan implementasi kebijakannya. Itu akan menyisakan gap yang sangat besar," ucapnya.
Selain cita-cita Indonesia Emas 2045, Indonesia juga berkomitmen untuk mengikuti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030, salah satunya mengeradikasi TBC pada 2030. Namun demikian, katanya, mengutip Global TB Report tahun 2023, menunjukkan bahwa hingga kini secara global Indonesia masih menjadi negara kedua dengan beban terberat terkait TBC.
Baca juga: Dokter: Perokok punya risiko tinggi terkena TBC
"Di publik beredar bahwa kalau cukai rokok dinaikkan, harga rokok menjadi lebih mahal. Itu sebenarnya nggak ada keuntungannya juga, nggak ada efeknya juga, karena orang akan lari ke rokok lain yang harganya lebih murah. Nah, di sinilah letak kesalahan berpikirnya," kata Diah.
Menurutnya, yang harus dilakukan adalah meregulasi rokok-rokok yang tidak punya pita cukai, sehingga tidak ada lagi rokok tadi yang bisa dijual ketengan maupun yang tidak punya pita cukai, sehingga semuanya berdasarkan regulasi yang sama.
Dia menilai dengan menaikkan cukai rokok, pemerintah punya keleluasaan fiskal untuk menggunakan uang tersebut untuk hal-hal yang lebih berguna untuk publik, seperti makanan bergizi, skrining kesehatan gratis, dan untuk menangani TBC juga.
Baca juga: Menko PMK sebut pentingnya lindungi finansial masyarakat terdampak TBC
Dalam salah satu penelitian CISDI, katanya, menunjukkan pemerintah mengeluarkan Rp 27,7 triliun untuk membayar ongkos penyakit-penyakit yang disebabkan oleh rokok, seperti penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes, dan gagal ginjal.
Dalam kesempatan yang sama, dia menjelaskan sebuah riset oleh CISDI menunjukkan sebanyak 8,8 juta orang sebenarnya hidup di bawah garis kemiskinan, namun tidak dianggap demikian karena pengeluaran untuk rokok membuat pengeluaran rutin keluarga terkesan besar.
Apabila rokok dihilangkan dari pengeluaran rutin tersebut, maka mereka sebenarnya termasuk miskin. "Artinya, angka kemiskinan kita tuh sebenarnya jauh lebih tinggi daripada yang ada saat ini," ujar Diah.
Baca juga: Kemenkes: Rokok adalah biang kerok masalah multidimensional di dunia
Baca juga: UI: Rokok berdampak pada kemiskinan hingga kekerdilan
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024