Hari ini, pemain-pemain ‘berdarah penjajah’ ini ternyata sama dicintainya layaknya pemain sepak bola yang lahir dan besar di tanah kitaJakarta (ANTARA) - Proyek PSSI untuk naturalisasi pemain keturunan masih berlanjut. Setidaknya sampai saat ini ada 15 pemain keturunan yang ada di dalam tubuh timnas. Jumlah ini masih akan bertambah andai dua pemain keturunan berikutnya, Mees Hilgers dan Eliano Reijnders, resmi berganti kewarganegaraan.
Sejauh ini, meski tidak luput dari serangkaian kritik dan sinisme, program naturalisasi dianggap sebagai gebrakan yang menguntungkan sepak bola Indonesia. Premis ini berangkat dari pencapaian timnas sepak bola Indonesia di lingkup Piala Asia, kualifikasi Piala Dunia, hingga perbaikan rangking FIFA di posisi 129 dunia.
Rangkaian prestasi ini tentu saja memberi rasa kebanggaan bagi penikmat sepak bola di Indonesia. Kita tahu bahwa tingkat fanatisme terhadap sepakbola di negara kita sangat tinggi. Hal-hal yang berkaitan dengan sepak bola akan memberikan dampak yang tinggi terhadap atensi dan minat publik. Dengan pengaruh inilah, sepak bola bukan hanya tentang permainan di atas lapangan karena geliatnya bahkan akan menjangkau ranah sosio-historis dan politik.
Dari pemahaman itulah, proyek naturalisasi memiliki dampak yang besar dalam memahami faktor-faktor psikologis bangsa. Jika kita amati, sebagian besar pemain keturunan ini sebelum disumpah memiliki latar belakang kewarganegaraan Belanda.
Fakta ini memberi kesan menarik sebab secara psikis, ternyata masyarakat Indonesia menerima darah Belanda dari pemain naturalisasi. Hal ini menjadi langkah kecil untuk melepaskan trauma masa lalu yang puluhan tahun menjadi bayang-bayang kelam dalam sejarah kemerdekaan.
Trauma kolonialisme
Kolonialisme di Indonesia secara de jure memang dianggap berakhir sejalan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, namun bagi masyarakat kolektif, penderitaan warisan kolonialisme tidak pernah berakhir. Di antara bayang-bayang kepedihan masa lalu, melalui cultuurstelsel, kerja rodi, hingga devide et impera, kesadaran yang dimaksud turut menciptakan rasa benci dan dendam pada segala hal yang berkaitan dengan Belanda.
Reaksi traumatis inilah, sebagaimana penjabaran Marianne Hirsch dalam The Generation of Postmemory (2012), kemudian ditransmisikan turun-temurun kepada setiap generasi. Melalui konsep familial memory, traumatik kolonialisme menjadi penderitaan lintas generasi sehingga membentuk common sense dalam memandang dan menyikapi posisi Barat (Belanda) melalui kacamata Timur yang traumatis.
Lebih jauh, konsep traumatik tersebut ternyata bersifat paradoksal. Sebab sebagai suatu kebencian, sepanjang ingatan penderitaan masa kolonialisme dipertahankan, inferioritas terhadap kekuatan Barat turut terjaga dan tetap hidup dalam perspektif masyarakat lokal. Padahal sikap demikian hanya akan mengecilkan Timur (Indonesia) di hadapan Barat.
Masyarakat Indonesia terbiasa menarasikan ingatan melalui story telling untuk terhubung dengan keturunan mereka. Karakteristik tradisi lisan yang menjadi satu bagian dalam kultur masyarakat, menjadi bagian yang ikut menguatkan wacana traumatis tersebut. Dengan demikian, post-generation tersebut turut menyimpan problematika yang serupa.
Untuk itulah penerimaan masyarakat Indonesia terhadap pemain naturalisasi, yang secara kolektif berasal dari Belanda, menjadi angin segar. Sebab hanya dengan meruntuhkan posisi biner penjajah dan terjajah, masyarakat dunia ketiga mampu menyadari keberadaannya sebagai subjek yang independen, bebas, dan memiliki kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya.
Jalan kecil dari sepak bola
Tanpa banyak orang sadari, proyek naturalisasi ini menjadi penetrasi bagi rekonsiliasi yang selama ini mendapat berbagai tantangan. Salah satu wacana yang mengintegrasi cara pandang demikian terepresentasikan pada tulisan Petrik Matanasi berjudul Raja Belanda Datang Minta Maaf, Pemerintah RI Berak di Muka Sendiri (Tirto.id, 2020) yang membuka kembali peristiwa penjajahan Belanda ketika menguasai Hindia Belanda. Menurutnya, mekanisme kekuasaan Belanda bergerak pada serangkaian kejahatan yang kompleks dan menyeluruh, dari peristiwa marsose kepada rakyat Aceh, kekejaman Westerling kepada rakyat desa di Sulawesi Selatan, dan seterusnya.
Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa subjek Belanda menempatkan diri di atas masyarakat pribumi dan rakyat jelata secara khusus. Mereka memaksa pribumi untuk tunduk dan melihat secara tengadah. Dengan kata lain mereka mengonstruksi pola inferiority complex yang dalam terhadap negara kolonial.
Hal ini menjadi salah satu bentuk konstruksi traumatik affillial memory yang ditransmisikan kepada generasi sezaman. Tulisan Matanasi tersebut hanya salah satu dari sekian banyak wacana yang diproduksi melalui media-media di Indonesia.
Wacana mengenai konflik warisan kolonial juga dibahas seperti dalam tulisan berjudul Rindu Dendam di Balik Keris Naga Siluman (Indonesia.go.id, 2020), tulisan Jaya Suprana berjudul Indonesia Harus Minta Maaf karena Dijajah Belanda (Kompas.com, 2022), dan tulisan Pandasurya Wijaya dalam judul Sudah Dua Kali Belanda Minta Maaf kepada Indonesia, Beri Ganti Rugi Rp270 Juta (Merdeka.com, 2020). Secara umum, tulisan-tulisan tersebut menyoroti peristiwa terkini mengenai wacana permintaan maaf Belanda kepada Indonesia atas kejahatan masa lalu dalam bingkai kolonialisme. Sikap reaksioner berbagai kalangan dalam merespons peristiwa demikian menunjukkan bahwa konflik penjajah terjajah masih menjadi perhatian penuh sebagian pelaku media.
Dengan adanya proses naturalisasi terhadap keturunan Belanda-Indonesia, setidaknya dalam ruang ‘tak sadar’ kita telah memulai perspektif baru.
Pertama, naturalisasi memberi anasir implisit bahwa subjek (dengan darah Belanda) ternyata tidak selalu ‘jahat’ layaknya kisah masa lalu. Inilah poin rekonsiliasi yang dimaksud. Tujuannya jelas, melakukan displacing of meaning terhadap paradigma berpikir masyarakat Indonesia agar terlepas dari hantu masa lalu, Belanda. Dengan melepaskan beban tersebut, secara otomatis masyarakat Indonesia juga menguraikan binerisme, stereotipe, dan dominasi yang sebelumnya selalu hidup sejalan dengan ingatan kelam tersebut.
Masalah kedua, fakta bahwa ternyata ‘darah Belanda’ ini telah memilih Indonesia dengan berbagai alasan, menunjukkan tidak selamanya Belanda (Barat) menjadi pilihan utama. Dalam konteks ini, karakteristik kita yang dianggap ‘bodoh, tertinggal, dan biadab’ ternyata menjadi pilihan bagi subjek-subjek keturunan Barat ini.
Ambiguitas dalam naturalisasi ini perlu kita akui telah memberikan dampak-dampak tertentu dalam psikis publik sepak bola dan secara luas masyarakat Indonesia. Hari ini, pemain-pemain ‘berdarah penjajah’ ini ternyata sama dicintainya layaknya pemain sepak bola yang lahir dan besar di tanah kita.
*) Angga T. Sanjaya, Dosen Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD. Bergiat di Komunitas Jejak Imaji ‘Lawang Abang’, pendamping komunitas Luar Ruang dan Serawung Filsafat.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024