Jika nanti MRT sudah jadi, apa bapak yakin orang-orang Jakarta akan beralih memakai itu?
Jakarta (ANTARA News) - Setiap pagi, Wita harus berangkat pukul enam menuju ke tempat pemberhentian bus yang berjarak 10 menit dari rumahnya di Bekasi, Jawa Barat, dengan sepeda motor.

Perempuan berusia 24 tahun tersebut memilih menggunakan motor untuk menghemat ongkos angkutan, Rp3.500 untuk sekali jalan, dengan menitipkan kendaraannya di tempat penitipan motor dengan tarif Rp3.000 per harinya.

Karena tidak dibekali oleh jadwal kedatangan bus yang pasti, dia dan para komuter pun harus mengadu nasib untuk menunggu kedatangan bus.

"Kalau cepat ya lima menit bus sudah ada, kalau ngga ya bisa sampai 30 menit menunggu," kata Wita.

Perjalanan sejauh kurang lebih 20km menuju tempat kerjanya di Ciracas, Jakarta Timur, ditempuh sekitar satu jam menggunakan bus.

"Turun dari bus, aku harus bayar ojek Rp6.000 ke kantor. Kalau pulang kantor, aku bisa naik angkot bayar Rp2.500 menuju ke tempat naik bus," kata dia.

Dalam sehari, dia bisa menghabiskan uang hingga Rp25.000 untuk biaya transportasi.

"Total sebulan bisa Rp550.000 untuk ongkos transpor. Kalau aku ga naik motor, aku harus mengeluarkan uang lebih untuk naik ojek," kata dia.

Wita setiap harinya harus menumpuh perjalanan kurang lebih 1,5 jam untuk mencapai tempat kerjanya.

"Kalau macet, bahkan bisa sampai dua jam lebih," kata dia.



Transportasi efisien

Waktu tempuh menuju tempat kerja merupakan faktor yang mempengaruhi produktivitas suatu kota, demikian menurut studi yang dilakukan oleh Credo, perusahaan konsultan bisnis yang berbasis di London,

Sebagai perbandingan waktu tempuh pengguna transportasi publik di London ke tempat kerja lebih singkat dari rata-rata masyarakat Jakarta. Masyarakat Ibu kota Inggris itu membutuhkan waktu rata-rata 6,8 menit untuk mencapai stasiun keberangkatan, dan 10 menit untuk menunggu bus/kereta.

Perjalanan memakan waktu 27 menit hingga stasiun pemberhentian. Kemudian, sekitar 6,8 menit untuk mencapai tempat kerja.

Rata-rata mereka menghabiskan waktu 45 menit untuk mencapai tempat kerjanya, demikian menurut studi berjudul The Mobility Opportunity yang disampaikan saat World Cities Summit 2014 di Singapura pada awal Juni itu.

Studi yang disponsori oleh perusahaan raksasa Eropa Siemens itu meneliti 35 kota di berbagai belahan dunia. Hasilnya adalah waktu rata- rata yang dihabiskan masyarakat dunia untuk menuju ke tempat kerja menggunakan transportasi publik adalah 66 menit.

Kota-kota yang diteliti dibagi menjadi tiga kategori yaitu kota maju (well-established cities), kota yang mempunyai kepadatan tinggi (high density compact centers) dan kota berkembang (emerging cities).

Credo mengambil data dari statistik PBB untuk jumlah penduduk perkotaan, sementara data PDB tiap-tiap kota dan penduduk mengacu kepada data dari Brookings Institution.

"Beberapa kota bahkan kami mulai teliti dari nol," kata Senior Partner Credo, Chris Molloy.

Studi yang dilakukan pada 2013 tersebut memperhitungkan sejumlah faktor seperti waktu tempuh perjalanan, kepadatan arus lalu lintas, dan kepadatan jaringan transportasi seperti jumlah stasiun dalam suatu area, yang kesemuanya berdampak terhadap produktivitas kota.

Hasilnya, kota Kopenhagen,Denmark menjadi kota yang paling efisien sistem transportasinya untuk kategori kota maju dengan angka 8,6 persen. Sementara Singapura menjadi yang terbaik di kategori kota padat dengan nilai biaya transportasi 8,9 persen dari setiap PDB per kapita penduduknya.

Untuk kategori kota berkembang, Santiago,Cile menjadi yang terbaik dengan angka 10,8 persen.

Ketiga kota tersebut mempunyai ciri yang serupa, yaitu sama-sama membangun transportasi massal berbasis rel atau metro. Jaringan metro mereka mempunyai fungsionalitas tinggi dan bisa memenuhi permintaan dan kapasitas penumpang dengan baik.

Selain itu, jaringan kereta bawah tanah yang terintegrasi dengan sistem Bus Rapid Transit (BRT) bisa menekan arus lalu lintas di ruas jalan kota.

"Hasil dari studi kami menunjukkan angka yang paling efisien untuk biaya transportasi berada di sekitar 10 persen dari PDB tahunan masyarakat," kata Molloy.





Bagaimana dengan Jakarta?

Zaman beralih musim bertukar. Sebagai kota yang sedang berkembang, Jakarta mulai disibukkan dengan pembangunan jaringan rapid rail transit system (MRT), membentang kurang lebih 110,8km dan terdiri atas Koridor Selatan-Utara (Lebak Bulus-Kampung Bandan) sepanjang 23,8km dan Koridor Timur-Barat sepanjang 87km.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah meresmikan pembangunan konstruksi MRT tahap I pada Oktober 2013 dengan rute Lebak Bulus-Hotel Indonesia sejauh 15,5km yang ditargetkan selesai pada 2018. Sementara tahap II, dari Bundaran HI ke Kampung Bandan sepanjang 8,1km akan dibangun setelah tahap I beroperasi dan ditargetkan beroperasi pada 2020.

Sedangkan koridor Timur-Barat saat ini sedang dalam tahap studi kelayakan dan paling lambat beroperasi pada 2024-2027.

Pemerintah setempat juga telah berinvestasi kepada pembangunan jaringan Bus Rapid Transit untuk meningkatkan kapasitas jaringan transportasi yang telah ada dengan dana yang terjangkau.

Namun demikian, penambahan armada BRT hanya baik untuk menambah kapasitas jangka pendek dan karena Jakarta tidak mempunyai sejarah dalam penggunaan jaringan metro bawah tanah, hal itu menyebabkan kemacetan parah di ruas-ruas jalan dan sistem angkutan bus yang beroperasi di atas kapasitas maksimalnya, kata studi tersebut.

"Angkutan mini bus di sana juga tidak tertata dengan bagus," kata Molloy.

Studi itu menunjukkan masyarakat komuter Jakarta menghabiskan rata-rata 23,5 persen dari pendapatan per kapitanya untuk ongkos transportasi. Armada bus yang semakin menua serta pelayanan yang buruk dan fungsionalitas yang rendah akan membuat masyarakat enggan beralih menggunakan transportasi massal.

"Untuk Jakarta, moda transportasi berbasis rel (metro rail) adalah yang terbaik. Tak ada yang lebih baik dari itu untuk mengatasi tingkat kemacetan di sana," kata Molloy.

Credo memperkirakan akan terjadi penambahan jumlah komuter dari 1,5 juta menjadi 2,5 juta saat puncak arus komuter pada pagi hari pada 2030.

Jika Jakarta tidak segera memperbaiki infrastruktur transportasi publiknya untuk menangani masalah kapasitas armada dan dipadukan perencanaan pengembangan kota yang terpadu, maka, menurut studi Credo, penduduk Jakarta bisa kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan potensi ekonomi sebesar 8,9 miliar dolar AS (sekitar Rp100 triliun) pada 2030.

"Kota-kota yang mulai berinvestasi ke transportasi berbasis rel atau metro akan segera merasakan manfaatnya mulai dari sekarang," tambah dia.



Belajar dari seberang

Negeri tetangga Singapura menjadi yang terdepan dalam efisiensi biaya transportasi publik di kategori kota dengan kepadatan tinggi. Data dari Asosiasi Transportasi Publik Internasional UITP menunjukkan bahwa 41 persen masyarakat Singapura merupakan pengguna layanan transportasi publik, sementara 45 persen lainnya merupakan pengguna kendaraan pribadi. Sisanya sebanyak 14 persen adalah pejalan kaki dan pengguna sepeda.

Sistem kereta bawah tanah sudah beroperasi dari 1987 di Singapura menawarkan fungsionalitas dan tingkat ketepatan waktu yang tinggi serta kapasitas yang besar. Sistem tersebut mampu meminimalkan kepadatan antara jaringan bus dan metro di negara itu.

Dengan jumlah penduduk mencapai lima juta orang pada 2010, Singapura telah memiliki jaringan metro sepanjang 178km dan berencana untuk memperbesarnya hingga 360km pada 2030.

Selain itu, Singapura sedang membangun jaringan metro bawah tanah Downtown Line yang menggunakan kereta otomatis atau tanpa pengemudi yang dikembangkan dan ditenagai oleh Siemens.

"Downtown Line merupakan jaringan metro tanpa pengemudi (driverless) terpanjang di Singapura," kata Kepala Strategi dan Pengembangan Bisnis Siemens Singapura Steffen Endler kepada rombongan wartawan yang mengunjungi Siemens Center di Singapura.

Dengan 33 stasiun yang membentang sepanjang 42km, Downtown Line dirancang untuk mengangkut 500.000 penumpang per harinya.

Dari tiga tahap pembangunan, tahap pertama dengan bentang 4km telah resmi beroperasi pada awal 2014. DTL 1 menghubungkan daerah Chinatown, Bugis dan pusat finansial di komplek Marina Bay.

Berdasarkan studi tersebut, dari skala satu hingga 10, promosi yang dilakukan pemerintah Singapura untuk mengajak masyarakatnya memakai transportasi umum mendapatkan nilai 10, yang berarti sangat baik.

Sementara teknologi yang digunakan untuk memaksimalkan pertumbuhan transportasi dan kecukupan kapasitas untuk mengakomodasi pertumbuhan jumlah penumpang masing-masing mendapatkan nilai delapan.

Keseriusan pemerintah Singapura dalam mengurusi mobilitas penduduknya terbayar dengan tingkat kepadatan arus lalu lintas bisa ditekan, dan mendapat nilai sempurna sepuluh dari studi itu.

Menteri Pembangunan Nasional Republik Singapura Khaw Boon Wan dalam Plenary Session WCS 2014 mengatakan Singapura sebagai negara-kota mempunyai tantangan tambahan yaitu harus bisa mengakomodasi semua layanan dan fungsi dalam wilayah berkedaulatan seluas 700km persegi.

"Jika kota ini gagal, maka negara juga gagal," kata sang Menteri.



Gengsi?

Mimpi Jakarta untuk memiliki moda transportasi massal yang monumental dan diharapkan bisa diandalkan masyarakatnya mungkin akan terwujud dalam beberapa tahun ke depan.

Namun, satu pertanyaan yang bijak diutarakan oleh seorang supir taksi bernama Rafsanjani saat mengantarkan wartawan setelah tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.

Dalam pertanyaannya, dia mengkritisi sebagian besar warga Jakarta yang masih memiliki gengsi tinggi karena lebih memilih memakai kendaraan pribadi.

"Jika nanti MRT sudah jadi, apa bapak yakin orang-orang Jakarta akan beralih memakai itu?" kata Rafsanjani di tengah macetnya tol dalam kota. 

Oleh Aditya E.s. Wicaksono
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2014