transplantasi organ dapat berfungsi sebagai bentuk kasih terhadap sesama dan menginspirasi pengembangan teknologi medis yang lebih maju dan etisJakarta (ANTARA) - Transplantasi organ merupakan salah satu pencapaian besar dalam dunia medis, yang memberikan harapan bagi banyak orang untuk memperoleh kehidupan yang lebih sehat.
Namun, praktik ini juga dihadapkan pada berbagai masalah etika yang sangat kompleks. Baik di Timur maupun Barat, persoalan etika yang meliputi transplantasi organ telah menjadi perdebatan sengit.
Bioetika, yang merupakan cabang dari filsafat moral, menawarkan panduan dan perspektif dalam menangani dilema ini serta memastikan bahwa kebijakan kesehatan tetap selaras dengan prinsip-prinsip moral dan sosial.
Menurut Wright, Ross, Daar (2005), bioetika dalam transplantasi organ tidak hanya mencakup prinsip-prinsip dasar seperti beneficence (kebaikan) dan nonmaleficence (tidak membahayakan), tetapi juga melibatkan autonomy (otonomi), dan justice (keadilan). Keempat prinsip ini adalah pilar utama dalam bioetika yang berfungsi untuk memastikan bahwa setiap keputusan terkait transplantasi organ menghormati hak-hak individu dan memaksimalkan manfaat bagi masyarakat.
Beneficence atau kebaikan menuntut para praktisi medis untuk selalu bertindak demi kebaikan pasien dan memastikan bahwa prosedur transplantasi organ membawa lebih banyak manfaat daripada risiko.
Nonmaleficence atau tidak membahayakan, menegaskan bahwa dokter tidak boleh menyebabkan bahaya pada pasien, termasuk donor organ hidup.
Otonomi, menghormati hak pasien dan donor untuk membuat keputusan secara bebas mengenai tubuh mereka sendiri, sedangkan keadilan memerlukan distribusi organ yang adil tanpa diskriminasi, dan memastikan bahwa semua orang memiliki akses yang sama terhadap kesempatan transplantasi organ.
Donor Hidup
Donasi organ dari donor hidup menimbulkan tantangan besar, khususnya dalam hal otonomi dan risiko yang terlibat. Pada kasus donor ginjal, misalnya, donor hidup dapat memberikan ginjal mereka untuk menyelamatkan nyawa orang lain, tetapi mereka juga berisiko mengalami komplikasi kesehatan di kemudian hari. Dalam hal ini, prinsip tidak membahayakan berbenturan dengan kebaikan, yang menimbulkan dilema etika yang kompleks.
Seperti yang diuraikan oleh de Ortúzar, Soratti, & Velez (1997), persetujuan yang diinformasikan (informed consent) sangat penting dalam kasus donor hidup. Donor harus sepenuhnya menyadari risiko yang terkait dengan prosedur tersebut dan membuat keputusan secara sukarela tanpa paksaan. Dalam kasus ini, kebijakan kesehatan yang kuat diperlukan untuk melindungi hak-hak donor dan memastikan bahwa keputusan mereka benar-benar dihormati.
Di berbagai negara berkembang, seperti yang diuraikan oleh Caplan (2014), komersialisasi organ menjadi masalah kontroversial. Praktik jual-beli organ sering kali dilakukan karena ketimpangan ekonomi antara orang kaya dan miskin, di mana orang miskin menjual organ mereka untuk mengatasi kemiskinan. WHO secara tegas melarang komersialisasi organ karena dianggap melanggar martabat manusia dan menyebabkan eksploitasi terhadap orang-orang yang rentan.
Dari perspektif etika, Gereja Katolik dan pandangan moral Islam menolak keras komersialisasi organ. Priambodo (2022) menegaskan bahwa organ seharusnya didonasikan dengan niat amal atau charity, bukan untuk mendapatkan keuntungan finansial. Hal ini selaras dengan ajaran yang mendorong amal sebagai bentuk kasih sayang antar sesama manusia.
Kebijakan donasi organ secara umum terbagi menjadi dua sistem: opt-in (sistem pendaftaran) dan opt-out (persetujuan otomatis). Pada sistem opt-in, individu harus mendaftarkan diri sebagai pendonor, seperti yang diterapkan di Amerika Serikat dan Kanada. Di sisi lain, negara-negara seperti Spanyol dan Prancis menerapkan sistem opt-out, di mana setiap orang dianggap menyetujui donasi organ, kecuali mereka secara eksplisit menyatakan keberatan.
Menurut Al-Bar dan Chamsi-Pasha (2015), sistem opt-out memiliki kelebihan dalam hal meningkatkan jumlah donor, tetapi menimbulkan perdebatan mengenai hak individu untuk mengontrol tubuh mereka sendiri. Di sisi lain, Caplan (2014) mengusulkan bahwa pendekatan presumed consent atau persetujuan otomatis sejalan dengan prinsip amal, selama tetap memberikan pilihan bagi individu yang ingin menolak donasi organ.
Antara etika dan keyakinan
Pandangan moral dan keagamaan memainkan peran penting dalam membentuk perspektif individu mengenai donasi organ. Di Tiongkok, seperti dijelaskan oleh Zhang & Zang (2021), keengganan untuk mendonorkan organ sering kali dikaitkan dengan ajaran Konfusianisme yang menekankan integritas tubuh setelah kematian. Namun, argumen yang diajukan oleh Zhang & Zang membantah pandangan ini dan menyatakan bahwa Konfusianisme sebenarnya mendukung donasi organ sebagai tindakan amal atau ren (kemanusiaan). Hal ini menunjukkan bahwa pandangan budaya dan keagamaan dapat berubah seiring dengan perkembangan pemahaman etis dalam masyarakat.
Di dunia Islam, banyak fatwa yang mendukung donasi organ, baik dari pendonor hidup maupun yang telah meninggal. Al-Bar dan Chamsi-Pasha (2015) menyatakan bahwa Islam memandang donasi organ sebagai tindakan yang mulia, selama prosedur tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan tidak melibatkan perdagangan organ. Prinsip kesucian tubuh tetap dihormati, dan pengambilan organ dari mayat diperbolehkan selama bertujuan untuk menyelamatkan nyawa.
Meningkatkan ketersediaan organ untuk transplantasi memerlukan pendekatan yang lebih inovatif dan berkelanjutan. Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah xenotransplantasi, yaitu penggunaan organ dari hewan untuk manusia.
Meskipun menghadirkan tantangan etis dan teknis, seperti yang dijelaskan oleh de Ortúzar et al. (1997), xenotransplantasi memiliki potensi untuk mengurangi ketergantungan pada organ manusia. Akan tetapi, praktik ini memerlukan pengawasan ketat dan kebijakan yang memastikan bahwa standar kesejahteraan hewan dipatuhi dan bahwa risiko terhadap pasien manusia dapat dikendalikan.
Sebagai kesimpulan, transplantasi organ adalah salah satu pencapaian medis terbesar yang menyelamatkan banyak nyawa. Namun, keberhasilan ini datang dengan berbagai tantangan etika yang memerlukan pertimbangan serius. Dengan mematuhi prinsip-prinsip bioetika, menghormati nilai-nilai budaya dan agama, serta menerapkan kebijakan yang adil, transplantasi organ dapat berfungsi sebagai bentuk kasih terhadap sesama dan menginspirasi pengembangan teknologi medis yang lebih maju dan etis.
Bioetika menawarkan kerangka kerja moral yang penting bagi masa depan transplantasi organ. Melalui pendidikan, kebijakan yang bertanggung jawab, dan pemahaman lintas budaya, dunia medis dapat mendorong praktek transplantasi organ yang lebih etis dan berkelanjutan.
*) Dokter Dito Anurogo MSc PhD (Cand.), Kandidat Doktor di IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University (TMU), Taiwan, dosen tetap di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar Indonesia
Copyright © ANTARA 2024