"Sebetulnya pesantren-pesantren ini membutuhkan 'governance' (tata kelola), jadi harus ada cara untuk meng-'govern', untuk mengatur kehidupan pesantren-pesantren ini. Tidak boleh dibiarkan sendiri-sendiri tanpa diatur," katanya di sela Simposium Pesantren 2024 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, Selasa.
Dengan tata kelola yang baik, pria yang akrab disapa Gus Yahya ini, optimistis pesantren bakal terhindar dari sejumlah permasalahan seperti kasus kekerasan maupun perundungan yang kerap muncul beberapa waktu terakhir.
"Berbagai macam kasus itu terjadi karena memang tidak ada 'governance', tidak ada kontrol, tidak ada alat untuk membuat standar dan lain sebagainya sehingga kasus-kasus ini atau banyak masalah-masalah yang lain juga saya kira dengan mudah bisa muncul di lingkungan pesantren," ujar dia.
Dia menyebut jumlah pesantren di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 40 ribu unit dengan total jumlah santri diperkirakan mencapai 12 juta orang.
Baca juga: KPAI tekankan pendekatan disiplin positif dalam mendidik santri
Oleh karena itu, standar tata kelola menjadi kebutuhan mendesak diwujudkan guna mencegah permasalahan muncul di lingkungan pesantren.
"PBNU sendiri sudah cukup lama, sudah dalam waktu mungkin hampir setahun ini, sudah ada 'task force' (satuan tugas) khusus yang dibentuk untuk meng-'address' (menyoroti) masalah ini," kata dia.
Gus Yahya berharap, pemerintah dapat menyediakan ruang untuk bersama-sama membantu membangun tata kelola pesantren yang baik bersama PBNU.
"Supaya bisa lebih bisa kita atur, kita tata dengan lebih baik sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan yang lain, sekolah, perguruan tinggi. Sekolah-sekolah formal ini sebenarnya kan ada 'governance'," kata dia.
Dalam Simposium Pesantren 2024 bertajuk "Strategi Penguatan Pesantren Sebagai Pilar Masa Depan Indonesia" itu, ia menekankan bahwa pengakuan pemerintah terhadap pesantren melalui Undang-Undang (UU) Pesantren dapat diiringi pula dengan peningkatan kualitas pesantren.
"Jangan cuma didasarkan pada stereotip-stereotip, jangan cuma didasarkan pada mitos-mitos tapi harus sungguh-sungguh didasarkan pada realitas faktual yang berkembang," ujar dia.
Dia berharap, para kiai atau pengasuh ponpes tidak hanya berkutat pada urusan pengembangan internal lembaga pesantren tanpa memikirkan lingkungan masyarakat sekitarnya.
"Banyak pesantren-pesantren yang sekarang kompleksnya, temboknya sudah tinggi sekali sehingga masyarakat enggak relevan lagi buat pesantren, sebagaimana pesantren tidak relevan buat masyarakat," demikian Gus Yahya.
Baca juga: JPPRA: Pesantren harus jadi garda terdepan cetak SDM berakhlak mulia
Baca juga: Menag: Proyeksi anggaran Dana Abadi Pesantren 2025 capai Rp267 miliar
Baca juga: Kemenag buka beasiswa non-degree bagi santri kuliah di luar negeri
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024