Para hakim tersebut menyampaikan keluhan terkait kesejahteraan mereka yang sangat memprihatinkan. Diwakili oleh koordinator, juru bicara, dan beberapa perwakilan hakim dari berbagai daerah untuk bicara, para "yang mulia" ini menyampaikan bahwa mereka dalam kondisi kritis atau sangat memprihatinkan.
Keluhan ini didorong oleh belum adanya aturan yang melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap uji materi terhadap PP Nomor 94 Tahun 2012.
Ketua MA pada 28 April 2023 menerbitkan surat yang ditujukan kepada Presiden RI, perihal Usulan Perubahan PP 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di lingkungan MA. Surat tersebut diteruskan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, namun hingga hari ini belum mendapatkan kejelasan tindak lanjut.
Para hakim menggelar aksi di berbagai tempat dan melalui mogok kerja massal, mulai tanggal 7 hingga 10 Oktober 2024 secara serentak.
Pada 8 Oktober itulah mereka menyampaikan keluhan tersebut kepada DPR. Di ruang rapat Komisi III DPR, para hakim ini pada intinya menyampaikan keinginan mereka agar DPR dapat membantu dalam mendorong diberlakukannya aturan baru (revisi PP Nomor 94 Tahun 2012) berkenaan dengan kesejahteraan hakim.
Aturan baru tersebut akan memberikan peningkatan pada gaji pokok, tunjangan pensiun, tunjangan jabatan dan tunjangan kemahalan. Selain itu para hakim juga meminta adanya dukungan legislasi DPR terkait dengan RUU Jabatan Hakim yang pernah bergulir dan RUU Contempt of Court.
Secara seimbang, para hakim juga menyerukan perlunya pengawasan terhadap hakim yang lebih baik atau ketat, agar lembaga peradilan dapat berjalan secara profesional dan akuntabel.
Para hakim kemudian juga menyampaikan beberapa hal lain yang masih menjadi persoalan di lapangan selama ini, yakni ketiadaan rumah dinas, biaya pajak untuk sewa rumah, dan jaminan keamanan hakim dan keluarganya.
SHI juga menyampaikan beberapa data terkini, yakni mengenai beban perkara di Indonesia yang mencapai 8 jutaan, dan rata-rata seorang hakim peradilan umum harus menyelesaikan 800-an perkara. Banyak dari mereka yang kemudian menjadi jenuh atau stres karena tidak diimbangi dengan tunjangan yang memadai. Hal ini ditengarai juga menjadi salah satu pemicu adanya oknum yang menyalahgunakan wewenang.
Aksi seperti ini bukan pertama kalinya terjadi. Pada 2012, para hakim juga mendatangi Komisi III DPR terkait kesejahteraan hakim. Perlu perhatian serius melihat aksi para ini dan juga mendengar data dan fakta yang disampaikan oleh mereka, mengingat negara kita adalah negara hukum, sesuai konstitusi dan Program Pembangunan Nasional kita menyasar pada transformasi hukum.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kondisi hakim dan lembaga peradilan, termasuk institusi penegak hukum di Indonesia, memang dapat dikatakan kurang memadai. Hal ini tentu berdampak pada kualitas martabat hakim dan lembaga peradilan itu sendiri.
Di saat kita mencoba membangun sistem hukum yang adil dan kredibel sebagaimana negara yang maju dan beradab, upaya kita ini justru menemui berbagai kendala, termasuk kekurangan sumber daya manusia, anggaran, sarana dan prasarana, infrastruktur, dan kebijakan itu sendiri.
Komisi III DPR dalam berbagai kesempatan kunjungan kerja maupun menerima masukan dari berbagai pihak telah banyak mendengar permasalahan di lembaga yudikatif ini. Keluhan hakim menjadi hal yang paling sering terjadi.
Persoalan terkait kesejahteraan, ketiadaan jaminan keamanan, kantor yang tidak layak dan rusak, ketiadaan rumah dinas atau kendaraan dinas, tidak juga diimbangi dengan dukungan anggaran. Alhasil, hakim harus merogoh koceknya sendiri dan berakibat pada kurangnya kesejahteraan, hingga pada kondisi memprihatinkan.
Lebih parah lagi, beberapa hal yang kurang elok dapat terjadi di wilayah-wilayah yang kurang mendapat perhatian, seperti hakim yang satu tempat kos atau satu angkot setiap hari dengan jaksa atau bahkan pihak-pihak berperkara. Tidak jarang mereka juga bertemu di rumah makan dan berbagai kegiatan lainnya secara mudah. Hal ini, selain menimbulkan potensi permasalahan netralitas, juga mengancam keamanan dari hakim itu sendiri.
Komisi III DPR dalam bukunya "Transformasi Penegakan Hukum dan HAM" juga menuliskan catatan terkait kekurangan ini sebagai hal yang memprihatinkan dan patut diwaspadai sebagai pemicu penyalahgunaan dan pelanggaran etik.
Kita mengetahui bahwa fenomena permasalahan pada lembaga peradilan, seperti pelanggaran hukum, korupsi, perselingkuhan, dan lainnya menghiasi media. Hal ini seperti paradoks atau buah simalakama yang tidak diketahui secara pasti mana yang menjadi ujung muara dan penyebabnya.
Oleh sebab itu, memang sangat penting adanya sebuah komitmen bersama untuk membantu meningkatkan kesejahteraan hakim, sekaligus peningkatan kualitas dan integritas hakim/lembaga peradilan secara seimbang atau berbanding lurus.
Mencari solusi bersama
Terdapat sebuah momen penting dalam rapat tersebut, yakni komitmen bersama untuk mendukung kesejahteraan dan martabat hakim. Apa yang kemudian disampaikan oleh presiden terpilih Jenderal (Pur) Prabowo Subianto, melalui telepon bersama Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, merupakan hal yang melegakan para hakim.
DPR pun memberi dukungan, tidak memandang dari fraksi manapun. Kita melihat hal ini menjadi sebuah momen kebersamaan dan persatuan dimana ada keinginan bersama untuk meningkatkan kualitas dan kredibilitas hakim yang menjadi indikator negara besar, tanpa memandang latar belakang kepentingan atau politik.
Prabowo Subianto menyampaikan rencananya untuk memikirkan kesejahteraan hakim dengan menaikkan remunerasi dan tunjangan.
Prabowo menyampaikan bahwa hakim seharusnya tidak boleh dalam kondisi kekurangan jika ingin mendapatkan hakim yang mandiri dan bersih. Ia pun menjanjikan untuk dapat segera memikirkan rencana aksi untuk meningkatkan alokasi keuangan untuk kesejahteraan hakim di masa pemerintahannya.
Tim Ekonomi Prabowo Subianto juga telah mendengar perjuangan dari Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial terkait kondisi kesejahteraan hakim yang memprihatinkan.
Bagaimanapun pandangan kita tentang citra lembaga peradilan dan hakim, maupun terkait dengan rencana atau upaya untuk peningkatan kesejahteraan hakim, kita patut memberi apresiasi kepada Prabowo dan Pimpinan DPR yang setidaknya berusaha untuk setidaknya mendengarkan dan memikirkan solusinya.
Apalagi, kemudian timbul komitmen untuk dapat mengimplementasikan segera aturan dan pelaksanaan aturan terkait dengan kesejahteraan hakim. Hal ini setidaknya menjadi solusi kekhawatiran Komisi III DPR terhadap kondisi hakim dan peradilan, khususnya di daerah-daerah dan wilayah pelosok dan terpencil.
Akses keadilan harus tetap terbuka dan ditegakkan sebagaimana muruahnya. Meminjam istilah Dr. Hinca Panjaitan, bahwa keadilan tidak boleh menemui jalan buntu atau kembali pada fitrahnya.
Untuk membangun lembaga peradilan yang kredibel, kita memerlukan infrastruktur lembaga peradilan dan hakim yang memadai. Oleh karena itu, sebaiknya segara ada aturan undang-undang yang menjamin keberlangsungan dan pelaksanaannya, seperti RUU Jabatan Hakim atau revisi terhadap undang-undang terkait yang telah ada.
Demikian pula perlu sebuah penegasan terhadap aturan renumerasi. Hal-hal pokok yang perlu diatur dalam undang-undang tersebut menyangkut berbagai hal. Pertama, jaminan kesejahteraan hakim yang memadai, yakni kejelasan peningkatan gaji, tunjangan, dan beberapa honorarium terkait lainnya. Demikian pula terhadap kekhususan dari sifat pejabat negara dari seorang hakim yang tentu diikuti dengan hak-hak khusus.
Kedua, yakni mengenai kejelasan terkait dengan jaminan keamanan dan pelindungan terhadap hakim dan keluarga. Selanjutnya pengaturan tentang sumber daya, baik anggaran, sarana dan prasarana, sistem jaringan, dan berbagai fasilitas yang diperlukan untuk membangun pengadilan yang memadai dan sesuai standar internasional.
Demikian pula, dalam rancangan undang-undang tersebut diatur pula mengenai jaminan integritas dan profesionalitas. Pertama, terkait dengan pentingnya mekanisme dan tolok ukur yang jelas dalam melakukan pengawasan terhadap hakim, sehingga tidak kemudian mengganggu kemandirian dan kemerdekaannya dalam memutus perkara.
Kedua, terkait dengan evaluasi kinerja dan meritokrasi untuk jenjang karir, yakni sistem mutasi, rotasi, promosi, dan demosi yang ketat, jelas, dan terbuka. Ketiga, mengenai sistem rekrutmen yang harus secara terbuka dan ketat menyeleksi calon hakim yang berintegritas, berkualitas, berkapasitas, dan menjunjung tinggi asas kebenaran dan keadilan. Selanjutnya, perlunya juga payung aturan untuk pelaksanaan sidang daring dan keterbukaan dalam akses produk peradilan secara cepat, tepat, dan akurat. Selain itu, perlunya sebuah aturan untuk memastikan konsistensi dan kesinambungan dari kualitas dan kapasitas hakim.
Dengan demikian, aturan tersebut dapat memayungi berbagai aturan pelaksana lainnya yang menjamin kesejahteraan, keamanan, sekaligus kemandirian, kemerdekaan, dan profesionalitas hakim. Kita perlu menyadari bahwa hakim merupakan profesi yang mulia dan merupakan jalan bagi seluruh warga negara dan penduduk dalam mendapatkan keadilan yang sebesar-besarnya, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Oleh sebab itu peran yang vital ini perlu sebuah kedudukan atau martabat yang tinggi, disertai dengan filosofi etika yang luhur dan mulia. Dalam upaya menciptakan lembaga peradilan yang kredibel dan berkeadilan, diperlukan upaya untuk menjamin fungsi peradilan yang merdeka dan tidak mudah terpengaruh oleh mafia hukum.
Semua pihak sebagaimana ajakan presiden terpilih Prabowo Subianto, harus ikut berperan dan berkomitmen untuk dapat menciptakan sistem penegakan hukum dan peradilan yang independen, profesional, dan berkeadilan. Kita tentu berharap agar citra peradilan kedepannya dapat melahirkan peradilan yang bermartabat, terpercaya, dan menjadi andalan masyarakat untuk mencari keadilan dan kepatuhan hukum.
Mari kita kawal bersama rencana dukungan dan peningkatan kualitas lembaga peradilan Indonesia.
*) DR. I Wayan Sudirta, S.H, M.H. adalah Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan
Copyright © ANTARA 2024