Dalam APBN, porsi energi besar, karena kita menempatkan energi sebagai ekspor. Ini tidak boleh lagi ke depan. Energi harus jadi modal pembangunan.
Jakarta (ANTARA News) - Dewan Energi Nasional (DEN) mengatakan pemerintah harus siap mengubah paradigma pemanfaatan energi, dari penggunaan utama untuk ekspor, menjadi komoditas yang dipertahankan di dalam negeri untuk penggerak pembangunan.

Anggota DEN, Rinaldy Dalimi, di Jakarta, Jumat, mengatakan hal tersebut menjadi klausul penting dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2014--2050 yang menunggu untuk ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menjadi Peraturan Pemerintah (PP).

"Itu konsekuensi logis. Dalam APBN, porsi energi besar, karena kita menempatkan energi sebagai ekspor. Ini tidak boleh lagi ke depan. Energi harus jadi modal pembangunan," ujar dia.

Kebijakan Energi Nasional (KEN) sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Januari lalu dan tinggal ditandatangani oleh Presiden RI untuk menjadi PP.

Rinaldy mengatakan, pemerintahan baru 2014--2019 sebaiknya mempersiapkan untuk mencari pengganti ekspor energi sebagai pendapatan negara dalam APBN.

Ia menjelaskan, salah satu komoditas energi yang diandalkan pemerintah untuk di ekspor adalah batu bara. Pemerintah harus berani menurunkan ekspor batu bara yang saat ini mencapai 75 persen dari produksi nasional, dan kemudian mencabutnya sama sekali.

"Secara perlahan harus diturunkan dan kemudian dihentikan," ujar dia.

Produksi batu bara diproyeksikan pada 2014 dapat mencapai 390 juta hingga 420 juta ton.

Lebih baik, ujar Rinaldy, batu bara dioptimalkan untuk menggerakkan industri dalam negeri, misalnya menjadi bahan baku untuk pembangkit listrik, dan juga sumber daya untuk instalasi pengolahan dan pemurnian (smelter).

Kemudian, lanjut dia, sebagai konsekuensi dari penerapan KEN, dalam asumsi target pertumbuhan energi di APBN, pemerintah juga harus mencanangkan kebutuhan infrastruktur energi guna menopang target pertumbuhan itu.

Perubahan paradigma itu, ujarnya, menjadi satu dari lima klausul atau poin penting dari implementasi KEN.

Poin penting kedua masih senada dengan hal pertama, yakni pengurangan ekspor energi fosil secara bertahap. Dengan begitu, pemerintah harus membuat peta jalan untuk pengurangan dan penghentian ekspor energi fosil.

Kemudian, ihwal penting selanjutnya, ujar dia, adalah pengurangan subsidi yang melekat pada harga energi. Pengurangan ini, kata dia, berbeda dengan pengurangan subsidi energi kepada masyarakat.

"Jadi pengurangan subsidi harga negara ini harus dipikirkan agar bagaimana tidak menambah orang miskin dan membebani masyarakat," ujarnya.

Hal penting lainnya dalam KEN, dikatakan Rinaldy adalah prioritas pengembangan energi terbarukan dengan penggunaan gas bumi, batu bara.

KEN juga mengamanatkan pemanfaatan dan pembangunan tenaga nuklir, namun sebagai opsi terakhir.

Selain itu, hal penting kelima dalam KEN, kata Rinaldy, adalah pemerintah berkewajiban membangun cadangan energi, untuk cadangan operasional, cadangan penyangga, dan cadangan strategis.

Di Asia Tenggara, Indonesia tertinggal dengan Singapura yang memiliki cadangan strategis energi untuk dimanfaatkan tatkala negara sedang pada kebutuhan mendesak, seperti saat terjadi perang.

Anggota DEN lainnya, Andang Bachtiar, mengatakan jika KEN sudah menjadi PP, semua amanat dalam kebijakan tersebut wajib dilaksanakan pemerintah.

(I029)

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014