Vientiane, Laos (ANTARA) - Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr mengatakan bahwa pihaknya masing sering melihat terjadinya intimidasi dan kekerasan yang tidak sesuai dengan hukum internasional khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) di kawasan Laut China Selatan.
Presiden Ferdinan Marcos menyampaikan hal tersebut di depan para anggota ASEAN dan Perdana Menteri China Li Qiang yang hadir dalam pertemuan tingkat tinggi ASEAN-China sebagai rangkaian KTT Ke-45 ASEAN di Vientiane, Laos, Kamis.
"Kita masih sering melihat terjadinya intimidasi dan kekerasan yang tidak sesuai dengan standar hukum internasional terutama UNCLOS untuk menghalangi benturan di laut di tahun 1972," kata Presiden Ferdinand Marcos.
Ferdinand menjelaskan bahwa dalam pertemuan tingkat tinggi itu, meski ada pembahasan kerja sama ekonomi yang baik dengan China, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada situasi yang mengkhawatirkan di Laut China Selatan.
Secara umum, situasi terkini di Laut China Selatan, menurut Marcos, masih mengalami ketegangan dan kompleks, serta belum terjadinya perubahan yang berarti.
Ia pun menilai bahwa konflik sengketa di Laut China Selatan merupakan tantangan yang tidak bisa dipecahkan dengan mudah, sehingga menuntut negara anggota ASEAN untuk bisa mengelola perbedaan dan meredakan ketegangan.
"Hal tersebut tentunya tidak membawa citra yang baik kepada masyarakat kita dan dunia global. Untuk itu, kita perlu upaya-upaya yang menyeluruh untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan," kata Marcos.
Baca juga: Wapres usulkan reaktivasi komunikasi langsung bahas Laut China Selatan
Baca juga: KTT ASEAN berfokus pada pembahasan Myanmar, Gaza, Laut China Selatan
Baca juga: Indonesia dorong ekonomi biru di Laut China Selatan untuk cegah perang
Marcos mendesak adanya percepatan negosiasi Pedoman Tata Perilaku (CoC) antara ASEAN-RRT, serta penerapan Deklarasi Perilaku Para Pihak (DoC) yang masih belum terumuskan.
Namun di sisi lain, Marcos menekankan bahwa Filipina menantikan kemajuan hubungan antara ASEAN dan China sehingga dapat membawa kemajuan dan perdamaian jangka panjang.
Adapun situasi di Laut China Selatan semakin mengalami ketegangan setelah pada 19 Agustus 2024, beberapa kapal China dan Filipina bertabrakan di sekitar kawasan tersebut.
Juru Bicara penjaga pantai Filipina Jay Tarriela mengatakan tindakan kapal penjaga pantai China di dekat Beting Sabina mengakibatkan tabrakan yang menyebabkan kerusakan di dua kapal Penjaga Pantai Filipina.
Namun, Juru bicara penjaga pantai China Geng Yu mengatakan dua kapal penjaga pantai Filipina secara ilegal menerobos perairan Xianbin Reef.
Tabrakan lain terjadi pada 25 Agustus 2024 dan kedua pihak lagi-lagi saling menyalahkan satu sama lain. China dianggap menghalangi dua kapal Filipina yang menjalankan "misi kemanusiaan" untuk mengirimkan suplai logistik ke Teresa Magbuana, sebuah kapal penjaga pantai Filipina yang dikerahkan ke Sabina Shoal beberapa bulan lalu.
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024