Presiden dapat menggunakan grasi sebagai alat untuk memberikan keadilan bagi terpidana mati yang telah menjalani pembinaan dengan baik.

Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI membuat lima rekomendasi kepada Pemerintah untuk menghapus hukuman mati di dalam perundang-undangan Indonesia.

Saat diskusi publik untuk memperingati Hari Antihukuman Mati Internasional 2024, anggota Komnas HAM Anis Hidayah mengemukakan bahwa rekomendasi pertama adalah Pemerintah harus segera melakukan upaya untuk menghapus hukuman mati dalam hukum nasional dengan mulai membatasi jenis kejahatan yang diancam hukuman tersebut.

"Kedua, Pemerintah harus secara bertahap dan terencana melakukan upaya untuk menghapus hukuman mati," kata Anis dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dengan tema Hukuman Mati dan Pengaruhnya dalam Menciptakan Rasa Aman kepada Masyarakat di Jakarta, Kamis.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa Pemerintah juga harus segera melakukan penandatanganan Protokol Opsional Kedua pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang dirumuskan pada tahun 1989 dan mulai berlaku pada tahun 1991.

Rekomendasi keempat, lanjut Anis, Pemerintah juga perlu melakukan evaluasi dan investigasi unfair trial di segala tahapan proses peradilan.

Untuk mewujudkan hal itu, Pemerintah perlu membentuk tim untuk memantau dan menilai kondisi terpidana mati dalam masa menunggu, termasuk mengetahui kondisi kesehatan mental dan fisik terpidana mati.

"Yang terakhir adalah segera membuat aturan yang memungkinkan komutasi atau pergantian hukuman mati bagi yang sudah menjadi terpidana mati dalam masa peralihan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru)," ujar perempuan yang pernah jadi aktivis pekerja migran Indonesia (PMI) itu.

Anis menambahkan bahwa peluang komutasi atau pergantian hukuman mati merupakan langkah yang positif untuk menyelesaikan permasalahan hukuman mati di Indonesia.

Dengan menempuh langkah tersebut, menurut dia, komitmen pemerintah Indonesia untuk merealisasikan nilai-nilai humanitas atau perikemanusiaan akan terwujud dalam bentuk memanusiakan terpidana mati menjadi berguna bagi masyarakat dan negara melalui pembinaan yang akan dilakukan.

Baca juga: Kohabitasi tidak bisa dipidana jika tanpa aduan
Baca juga: Ketentuan "politik identitas" dalam KUHP baru

Selain itu, komutasi hukuman mati juga akan memperkokoh konsep pemasyarakatan yang tengah dibangun pemerintah Indonesia dalam KUHP baru.

"Dengan begitu, Presiden dapat menggunakan grasi sebagai alat untuk memberikan keadilan bagi terpidana mati yang telah menjalani pembinaan dengan baik dan yang telah mengalami masa tunggu eksekusi yang lama," kata Anis.

Dalam KUHP baru yang mulai berlaku Januari 2026, kata dia, hukuman mati bukan lagi masuk menjadi pidana pokok, melainkan pidana bersifat khusus.

Nantinya, pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat sehingga hukuman pidana itu akan ditentukan dalam pasal tersendiri guna menunjukkan bahwa hal itu benar-benar bersifat khusus.

Pidana sendiri terdiri atas pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

Sementara itu, pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.

KUHP baru itu juga memungkinkan terjadinya perubahan hukuman mati bagi terpidana dengan memenuhi sejumlah syarat serta melalui tata cara yang telah diatur dalam mekanisme yang berlaku.

Pewarta: Donny Aditra
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024