Kondisinya tax ratio kita masih rendah. Tahu tidak ternyata Prof Sumitro itu sudah menyebutkan di buku ekonomi pembangunan bahwa tax ratio yang ideal itu 35 persen, bayangkan itu sebenarnya masih jauh dibandingkan rasio penerimaan yang ingin dicapai
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia Prof Haula Rosdiana mengatakan, menurut ekonom dan mantan menteri perdagangan Sumitro Djojohadikusumo, untuk melaksanakan pembangunan ekonomi dengan cepat tanpa ada inflasi, diperlukan jumlah pendapatan pajak 35 persen dari pendapatan nasional.
“Kondisinya tax ratio kita masih rendah. Tahu tidak ternyata Prof Sumitro itu sudah menyebutkan di buku ekonomi pembangunan bahwa tax ratio yang ideal itu 35 persen, bayangkan itu sebenarnya masih jauh dibandingkan rasio penerimaan yang ingin dicapai di dalam Asta Cita,” kata Haula di Jakarta, Selasa.
Hal tersebut disampaikan Haula dalam acara peluncuran dan diskusi buku karyanya yang berjudul Sambung Pemikiran Politik Pajak Transformatif Sumitro Djojohadikusumo.
Ekonom Prof Sumitro yang merupakan ayah dari presiden terpilih Prabowo Subianto menuturkan, jumlah 35 persen tersebut terbagi atas 15 persen untuk pengeluaran administratif atau konsumtif, dan 20 persen untuk pembentukan modal.
Sementara target rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) yang ingin dicapai dalam Visi dan Misi Asta Cita Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, adalah sebesar 23 persen.
“15 persen itu untuk administratif operasional jadi untuk spending yang sifatnya itu rutin dan seterusnya, 20 persennya itu adalah yang untuk tabungan dalam arti di sini untuk investasi, baru di situ bisa pembangunan ekonomi bisa dilakukan dengan cepat tanpa dikhawatiri dengan inflasi dan sebagainya,” ujar Haula.
Menurut dia, pemikiran Prof Sumitro masih sangat relevan untuk kondisi saat ini, salah satunya terkait politik pajak. Politik pajak Sumitro menekankan tentang pentingnya politik pajak yang progresif dalam rangka menghimpun penerimaan negara yang akan digunakan untuk pembangunan ekonomi.
Politik pajak pada hakekatnya merupakan proses dalam pengambilan keputusan untuk menentukan dan mencapai tujuan bernegara dengan menggunakan pajak sebagai instrumen social, political and economic engineering.
“Pajak itu bukan sekadar undang-undang tapi sejatinya dia merupakan relasi yang terdekat antara negara dengan rakyat, bagaimana menjadi instrumen social, political and economic engineering,” ujarnya.
Dengan adanya pembangunan ekonomi, maka terjadi proses perubahan struktural, yaitu suatu perubahan dalam struktur ekonomi masyarakat. Peranan pembangunan ekonomi dilihat dalam sumbangannya terhadap pendapatan nasional maupun dalam kaitannya dengan kesempatan kerja dan kedudukan negara dalam lalu lintas pembayaran luar negeri.
“Pajak itu harus menjadi sumber penerimaan andalan karena relasi yang paling dekat antara negara dengan rakyat yang menunjukkan bela negara sejatinya adalah pajak, maka Pak Sumitro juga menyakini bahwa quick win untuk mencapai hal tersebut adalah transformasi kelembagaan,” ujarnya
Sumitro berkeyakinan bahwa pajak menjadi sumber pembiayaan yang utama, dan karena kebutuhan negara terus naik, maka pemerintah perlu melakukan quick win, yaitu dengan usaha memperbaiki organisasi dan tata usaha (governansi). Penyempurnaan organisasi dan tata usaha atau dalam konteks saat ini dapat dimaknai sebagai transformasi kelembagaan perpajakan dan penerimaan negara.
Sumitro juga mengingatkan tentang resistensi terhadap modernisasi kebijakan fiskal (politik pajak) akan menimbulkan ketegangan sosial.
Prof. Soemitro Djojohadikusumo merupakan ekonom Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri perdagangan dan perindustrian pada Kabinet Natsir (1950–1951), menteri keuangan pada Kabinet Wilopo (1952–1953), menteri keuangan pada Kabinet Burhanuddin Harahap (1955–1956), menteri perdagangan pada Kabinet Pembangunan I (1968–1973), dan terakhir menteri riset pada Kabinet Pembangunan II (1973–1978).
Begawan ekonomi Indonesia itu memulai kariernya sebagai pembantu staf perdana menteri Sutan Sjahrir (1946), presiden direktur Indonesian Banking Corporation (1947), dan kuasa usaha KBRI Washington D.C. (1950).
Soemitro, lahir di Kebunen pada 29 Mei 1917, meninggal dunia 9 Maret 2001 pada usia 83 tahun.
Ayahnya Prabowo itu merupakan anak dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia (BNI), dan ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), dan anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).
Baca juga: Menkeu: Pendapatan Negara capai Rp1.777 triliun per Agustus 2024
Baca juga: Menkeu: Core tax jadi tulang punggung pencapaian penerimaan negara
Baca juga: Ikatan konsultan pajak tekankan integritas genjot penerimaan pajak
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2024