"Menimbang bahwa keterangan terdakwa terkait sumber mata uang asing tersebut, majelis hakim menilai bahwa keterangan terdakwa tidak lazim dan tidak dapat diterima dengan akal sehat,"Jakarta (ANTARA) - Hakim Ketua Fahzal Hendri menilai alasan Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh menemukan batu permata di Australia dan menjualnya untuk memiliki valuta asing (valas) tidak masuk akal.
"Menimbang bahwa keterangan terdakwa terkait sumber mata uang asing tersebut, majelis hakim menilai bahwa keterangan terdakwa tidak lazim dan tidak dapat diterima dengan akal sehat," kata Hakim Ketua Fahzal dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
Menurut majelis hakim, selama persidangan Gazalba tidak dapat menunjukkan adanya dokumen pembawaan permata melintasi Imigrasi Australia-Indonesia maupun Singapura.
Gazalba juga dinilai tidak dapat menunjukkan bukti sertifikat dan cara memperoleh sertifikat keaslian permata yang ditemukannya sebagai bukti batu mulia dengan nilai ekonomis sehingga bisa diperjualbelikan.
Bahkan, sambung hakim ketua, Gazalba pun tidak dapat menunjukkan adanya dokumen terkait penjualan batu permata di Singapura serta bukti deklarasi membawa mata uang asing melintasi negara atau Imigrasi Singapura dan Indonesia terkait uang sebesar 75 ribu dolar Singapura hasil penjualan batu permata di Singapura.
Selain itu, majelis hakim berpendapat keterangan Gazalba yang menyatakan hasil penjualan permata tersebut dipinjamkan kepada seorang teman bernama Irfan yg tidak didukung alat bukti apapun
"Bahkan menurut keterangan Gazalba, Irfan juga telah meninggal dunia pada tahun 2022," tuturnya.
Sebelumnya, Gazalba mengeklaim bahwa valas yang dimilikinya antara lain merupakan hasil dari penjualan batu permata senilai 75 ribu dolar Singapura yang ditemukan di sebuah perkebunan di Sydney, Australia.
Saat itu, dirinya masih bekerja di sebuah perusahaan perkebunan di Negeri Kanguru pada tahun 1993, sebelum menjadi hakim agung di Indonesia.
"Batu permata itu jenisnya pink diamond. Saya simpan sejak lama sampai di Jakarta dan barulah pada 2010 saya jual saat di Singapura," ucap Gazalba dalam sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (26/8).
Setelah dijual, kata dia, uang dari hasil batu permata itu dipinjamkan kepada salah satu temannya, Irfan, yang merupakan seorang pengusaha di bidang tambang dengan bunga sebesar 20 persen sampai 35 persen sejak tahun 2010.
Gazalba divonis pidana 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider pidana kurungan 4 bulan setelah terbukti bersalah menerima gratifikasi dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA) dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Dengan demikian, Gazalba terbukti melanggar Pasal 12B Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dalam kasus tersebut, Gazalba didakwa menerima gratifikasi dan melakukan TPPU dengan total nilai Rp62,89 miliar.
Dugaan penerimaan itu meliputi gratifikasi senilai Rp650 juta serta TPPU yang terdiri atas 18.000 dolar Singapura (Rp216,98 juta), Rp37 miliar, 1,13 juta dolar Singapura (Rp13,59 miliar), 181.100 dolar Amerika Serikat (Rp2 miliar), dan Rp9,43 miliar dalam kurun waktu 2020–2022.
Gratifikasi yang diberikan kepada Gazalba terkait dengan pengurusan perkara kasasi pemilik Usaha Dagang (UD) Logam Jaya Jawahirul Fuad yang mengalami permasalahan hukum terkait dengan pengelolaan limbah B3 tanpa izin pada tahun 2017.
Uang gratifikasi diduga diterima Gazalba bersama-sama dengan pengacara Ahmad Riyadh selaku penghubung antara Jawahirul Fuad dan Gazalba pada tahun 2022 setelah pengucapan putusan perkara.
Gazalba menerima uang sebesar Rp200 juta dan Riyadh menerima uang Rp450 juta sehingga total gratifikasi yang diterima keduanya tercatat Rp650 juta.
Selanjutnya, uang hasil gratifikasi tersebut beserta uang dari penerimaan lain yang diterima Gazalba dijadikan dana untuk melakukan TPPU, antara lain, bersama-sama dengan kakak kandung terdakwa, Edy Ilham Shooleh, dan teman dekat terdakwa, Fify Mulyani.
TPPU dilakukan dengan membelanjakan uang hasil gratifikasi dan penerimaan lain untuk pembelian mobil mewah, tanah atau bangunan, membayarkan pelunasan kredit pemilikan rumah (KPR), serta menukarkan mata uang asing senilai 139.000 dolar Singapura dan 171.000 dolar AS menjadi mata uang rupiah Rp3,96 miliar.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024