Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan mempidanakan Karaha Bodas Company (KBC) dan mengambil alih aset PT Pertamina (Persero) sekitar 270 juta dolar AS yang dibekukan di Amerika Serikat (AS). "Secara perdata kita kalah, tetapi ada unsur pidana yang masih bisa kita kejar," kata Deputi Menteri Negara BUMN, Roes Aryawijaya, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, di Jakarta, Senin. Roes menyatakan, PT Pertamina sudah membayar sekitar 30 juta dolar AS. "Kita ingin aset Pertamina yang dibekukan di New York tidak sampai diambil alih KBC," kata Roes. Kasus ini bermula ketika pemerintah pada 1997 akibat krisis ekonomi menghentikan kontrak dengan KBC terkait pembangunan pembangkit listrik di Indonesia. Kasus ini berlarut-larut sampai supreme court di New York memutuskan memenangkan KBC, dan PT Pertamina serta PT PLN diharuskan membayar 261 juta dolar AS setiap tahun termasuk bunga. "Keharusan membayar 261 juta dolar AS, terdiri dari 111 juta dolar AS dari pos-pos yang sudah dikeluarkan KBC, dan lost of opportunity income sebanyak 150 juta," kata Roes Arya. Menurut dia, sebelumnya pemerintah melalui PT Pertamina sudah menyampaikan keberatan dengan mengajukan novum atau bukti baru, namun tidak diakui di pengadilan. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pemerintah siap membayar klaim KBC atas kekalahan Pertamina itu. Sementara Meneg BUMN Sugiharto mengatakan, kasus KBC harus diselesaikan secara korporasi. "PT Pertamina dan PT PLN harus bertanggungjawab atas kemelut yang terjadi di masa lalu itu. Kementerian BUMN tidak memiliki dana untuk membayarnya," kata Sugiharto. Menurut Roes Aryawijaya, sesuai kontrak secara perdata pemerintah memang kalah sehingga harus membayar. Tetapi kajian terhadap kasus ini tetap dilakukan apakah ada aspek pidananya. "Aspek pidana ini harus diteruskan ditagih terus apalagi ada kemungkinan fraud di sana sehingga kita bisa klaim kembali. Itu akan kita lakukan," kata Roes. Saat rapat, anggota DPR dari Fraksi PAN, Zulkifli Hasan mengatakan, ada hal yang tidak beres dalam kasus ini. "Dalam hal ini kita dibodohin, dengan harus membayar denda dan bunga. Proyek ini harus diusut, dan dibawa ke Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Zulkifli.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006