Damaskus (ANTARA) - Haidar Abu Ali dan keenam anaknya memulai perjalanan berbahaya mereka dengan berjalan kaki melalui jalan-jalan di pinggiran selatan Beirut, ketika teriakan minta tolong bergema pascaserangan udara Israel.
"Pikiran yang paling menakutkan adalah melihat anak-anak saya mati di depan mata saya," kenang Abu Ali, yang masih dihantui rasa takut yang mencengkeramnya saat mereka melarikan diri dari zona bahaya.
"Tak ada mobil, tak ada transportasi, tak ada apa-apa. Kami berjalan kaki, berdoa demi keselamatan, berharap kami tidak akan terjebak dalam serangan lain," kata Abu Ali, yang merupakan seorang duda berusia 45 tahun, kepada Xinhua di tempat penampungan pengungsi di wilayah pedesaan ibu kota Damaskus.
Kekerasan yang meningkat dan serangan tanpa henti membuat Abu Ali tidak punya pilihan selain meninggalkan kehidupan yang dijalaninya.
"Saya tidak pernah menduga akan meninggalkan rumah saya," kata Abu Ali. "Namun saat pengeboman sampai di depan pintu rumah kami, tidak ada pilihan lain. Kami pergi tanpa membawa pakaian selain yang kami kenakan, hanya mengenakan sandal."
Dalam perjalanannya, Abu Ali mengatakan bahwa dia berjuang untuk tetap tenang di depan anak-anaknya, sementara dunianya hancur di sekelilingnya.
"Kami bisa mendengar jeritan orang-orang di sekitar kami, dan saya berdoa agar kami bisa selamat. Semua ini tidak bisa saya jelaskan, tidak ada manusia yang pantas menyaksikan peristiwa seperti itu," katanya.
Bagi Abu Ali, memori yang paling menghantuinya adalah pemandangan anak-anak yang terjebak di bawah reruntuhan bangunan yang runtuh. "Saya berharap mati saja daripada melihat pemandangan itu," katanya. "Namun, perhatian utama saya adalah menyelamatkan anak-anak saya. Mereka adalah hal yang paling berharga dalam hidup saya. Saya tidak sanggup membayangkan sesuatu terjadi pada mereka."
Sejak tiba di Suriah, Abu Ali dan keluarganya hidup dalam kondisi darurat, dan mereka tidak yakin apakah rumah mereka di Beirut masih berdiri. "Kami mencuci pakaian yang kami kenakan saat mengungsi dan menunggu pakaian itu kering sebelum memakainya lagi. Kami tidak punya uang, tidak punya apa-apa," jelasnya. "Kami bahkan tidak tahu apakah rumah kami masih ada di sana atau sudah hancur."
Terlepas dari berbagai kesulitan itu, Abu Ali tetap teguh dalam tekadnya untuk kembali ke rumah. "Saya tidak ingin berada di tempat lain. Bahkan jika rumah saya hancur, saya akan tinggal di tenda di sebelahnya, setidaknya saya akan berada di tanah air saya, dengan harga diri saya yang utuh," katanya.
Bagi banyak warga Lebanon, seperti Khaled Abu Malik, seorang ayah dari Baalbek di Lembah Beqaa, Lebanon, eskalasi kekerasan yang begitu cepat membuat mereka syok.
"Situasi memburuk dengan begitu cepat. Kami tidak pernah membayangkan keadaan akan mencapai titik ini," kata Abu Malik kepada Xinhua di tempat penampungan pengungsi yang sama.
"Perang di perbatasan telah berlangsung selama lebih dari setahun, tetapi eskalasi yang mendadak ini sangat mengejutkan," katanya.
Asap membubung pascaserangan udara Israel di sebuah lokasi di wilayah Lebanon selatan pada 13 Oktober 2024. (Xinhua/Gil Cohen Magen)
Serangan Israel yang tak berkesudahan telah membawa dampak buruk bagi Abu Malik dan keluarganya, terutama para wanita dan anak-anak. "Anak-anak adalah yang paling kami khawatirkan," katanya. "Serangan itu membuat kami tegang. Saat kami menyadari bahwa tidak ada tempat yang aman, kami berakhir di sini, di Suriah. Untungnya segala sesuatu tersedia di sini."
Namun, meskipun telah menemukan tempat yang aman untuk sementara waktu, Abu Malik berharap akan datang hari di mana dia dapat kembali ke tanah airnya. "Rasanya seperti hidup saya berhenti di sini, tetapi masih ada harapan. Saya ingin kembali ke rumah dalam kondisi apa pun, untuk bersama keluarga saya. Bahkan jika seseorang mati, lebih baik mati di antara saudara-saudara senegara sendiri," katanya.
Ini merupakan kali pertama Abu Malik mengalami trauma akibat mengungsi dari rumahnya. "Ini perasaan yang sulit, yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Sekarang saya mengerti betapa sulitnya dipaksa pergi dari rumah," katanya.
Bagi kedua pria tersebut, keinginan untuk kembali ke rumah mereka, terlepas dari kehancuran dan ketidakpastian, merupakan benang merah. Mereka, seperti ribuan orang lainnya, memimpikan hari di mana mereka dapat membangun kembali kehidupan di tanah air mereka dengan cara apa pun. Namun untuk saat ini, mereka masih menjadi pengungsi, bergulat dengan dampak konflik yang sekali lagi mengubah kehidupan mereka.
Meskipun harapan tidak pernah padam, Abu Ali membandingkan kondisi psikologis anak-anaknya dengan kaca, yang tidak akan pernah sama lagi jika sudah dipecahkan.
"Trauma psikologis akan tetap ada dalam diri anak-anak saya selamanya," katanya. Selesai
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024
Efeknya kan, kalian sendiri yang rasakan.