Sorong (ANTARA News) - Diam-diam sepak bola Italia menyimpan khasanah mutiara hati bagi mereka yang sedang kasmaran bahwa hati yang merindu merupakan asal muasal dari sebuah pemberontakan kecil-kecilan di jagat pikiran.

Hal-hal yang dramatis, dalam hati yang merindu, kerapkali memicu semangat memperoleh kemenangan dari sebuah ziarah perjuangan. Hati yang merindu kini dimiliki dan dihidupi oleh skuad Gli Azzurri ketika melawan Uruguay dalam laga Piala Dunia 2014 yang digelar di Estadio das Dunas, pada Selasa malam, pukul 23.00 WIB.

Hati yang merindu membuat fans sejati Italia terngiang dengan kemenangan Andrea Pirlo dan kawan-kawan ketika melawan Inggris.

Lawan Kosta Rika, pasukan asuhan pelatih Cesare Prandelli tampil pas-pasan bahkan cenderung mengecewakan. Hasilnya, satu gol dari Bryan Ruiz bersarang ke gawang Italia.

Muncul sejumlah pertanyaan, Azzurri dilanda hati yang sedang galau, bukan justru hati yang sedang merindu? Bukankah Media Italia dengan huruf besar sudah habis-habisan mencerca penampilan Pirlo sebagai tim yang tanpa cinta yang dramatis.

Dan Prandelli tahu betul bahwa roh sepak bola Italia bersumber kepada hal-hal yang ekstrem, hal-hal yang nyerempet antara suka dan suka. Bukankah hati yang merindu kerapkali mencetuskan perilaku yang di luar dugaan, bahkan di luar hal yang biasa-biasa saja.

Kontra Uruguay, jelas bahwa Italia menghadapi laga antara hidup mati. Bila saja Azzurri keok, maka bukan tidak mungkin mereka segera angkat koper dari Brasil. Nasib serupa juga dialami skuad negeri Pizza ini empat tahun lalu di Piala Dunia di Afrika Selatan.

Saatnya berlaga dengan hati yang merindu bagi skuad Italia. Punya reputasi sebagai negeri sepak bola yang melahirkan kokohnya pertahanan (cattennaccio) atau sistem grendel, maka kontra Uruguay, tidak ada kata lain yakni keluar menyerang dengan kerinduan memperoleh kemenangan.

Bertahan dan bertahan, demikian mengakar dalam skema sepak bola Italia dari generasi ke generasi. Hanya saja skuad yang dibawa Prandelli kali ini tampil "mencemburu" bahkan "menjauh" dari sepak bola bertahan.

Filosofi hati yang merindu dari skema taktik khas Prandelli justru lebih menyerang, ketimbang memarkir bis di lini pertahanan.

Hati Prandelli gundah dengan warisan sepak bola Italia. Pelatih dengan potongan rambut sisir ke belakang itu dirundung hati yang merindu dengan gaya bermain yang lebih menyerang ketimbang menyusun pertahanan.

Soalnya sekarang, melawan Luis Suarez dan Edinson Cavani, dua striker bertipe predator, tentu lini pertahanan Italia perlu tampil lebih kokoh, lebih mengakar kepada amanat tradisi sepak bola Italia.
 
Berbekal hati yang merindu itulah, Prandelli banting setir. Ia serta merta membuang tradisi sepak bola negerinya ketika melawan Kosta Rika. Ia mencampakkan bek-tengah Gabriel Paletta dan mengomando Giorgio Chiellini dari bek-kiri berpindaah ke lini tengah. Sementara, Ignazio Abate justru menempati posisi bek-kiri.

Besar kemungkinan Prandelli menurunkan tiga gelandang ketika melawan Uruguay. Chiellini, Andrea Barzagli dan Leonardo Bonucci yang nota bene tritunggal dalam Juventus, siap memperkuat dan menguasai lini tengah.

Apakah trio Juventus ini telah memiliki hati yang merindu ketika beroperasi di lini tengah? Lantaran telah bermain dalam satu tim, maka hati mereka telah saling menjalin untuk merindu guna merangsek lini pertahanan lawan. Di sini Mattia De Sciglio besar kemungkinan mengganti posisi Abate.

Hanya saja, apakah Prandelli mampu mengartikulasikan kerinduan tifosi dengan kehadiran dan kedatangan dewi Fortuna di Natal nanti? Ini tugas yang tak akan berakhir dari proyek Prandelli, bukan hanya ketika melawan Uruguay.

Publik Italia punya hak prerogatif untuk lantang memasukkan pemain yang ada di hati mereka. Ini tergambar dari hasil rating televisi Italia yang membuat wacana bahwa skuad Italia perlu memanggil dan memasukkan Ciro Immobile, mendampingi Mario Balotelli.

Penampilan si bengal Balotelli, begitu menentukan ketika melawan Inggris, meski ia tidak banyak menyumbang perlawanan berarti ketika menghadapi Kosta Rika. Ia lantas dilabel sebagai pemain yang dihinggapi virus kurang mampu tampil konsisten. Tidak ada rindu dalam hati Balotelli.

Immobile, dengan raihan 22 gol, lantas ia dibaptis sebagai pencetak gol terbanyak dalam ajang Serie A. Sementara Prandelli sebelum turnamen empat tahunan itu, mengutarakan komentar bahwa Balotelli tidak saling berjodoh di lini depan.

Sementara, ada keprihatinan mengenai kondisi fisik pemain di kubu Azzurri. Mereka bukan pemain yang masih berusia muda. Belum lagi ditambah dengan tingkat kelembapan dari kota-kota di Brasil.

"Saya melihat bahwa banyak pemain mengalami kelelahan. Ini nampak ketika para pemain melawan Kosta Rika, dan tidak (hanya) melanda (Andrea) Pirlo," kata Prandelli ketika mengomentari kondisi Pirlo yang nota bene sudah berusia 35 tahun.

Melawan Uruguay, jelas-jelas bahwa skuad Italia perlu membangun dan melapangkan hati untuk kembali ke sejarah hati yang merindu akan skema permainan bertahan. Italia jangan melupakan sejarah, Italia jasmerah.

Italia tahu dan paham bahwa musuh utama mereka justru rasa rindu yang mendendam. Apakah Prandelli mampu memotivasi para pasukannya dengan menanamkan benih cinta kepada sejarah perjalanan sepak bola Italia?

Berbekal hati yang merindu akan penampilan habis-habisan kontra Uruguay inilah, maka tifosi senantiasa berujar dengan lantang bahwa apapun kendala, apapun halangannya, maka satu saja resep kemenangan yakni bertanding dengan hati yang merindu, bukan hati yang mendendam kepada sejarah.

Penjaga gawang gaek Italia, Gialuigi Buffon menyatakan, "Kami akan melawan Uruguay dengan kepala dingin dan hati yang berkobar." Hati yang berkobar, hati yang merindu dimiliki oleh mereka yang ingin meraih kejayaan dalam ziarah hidup.
(T.A024) 

Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014