Surabaya (ANTARA News) - Sarolan menenteng celurit seraya memamerkan jejeran pohon-pohon kaliandra merah (Caliandra callothyrsus) yang ia tanam di antara pohon jati dan sengon di lahan seluas 22 hektare miliknya.

Kaliandra merah merupakan jenis tanaman perintis yang mudah dan cepat tumbuh di lahan miskin hara, miskin air, dan bisa menyuburkan tanah melalui fiksasi Nitrogen dalam tanah.

Sarolan memotong salah satu pohon kaliandra merah dengan cerulitnya. Ia meninggalkan sedikit batang yang akan menjadi tunas. Tiga bulan lagi, tunas tersebut akan siap ditebang dan dijual.

"Awal menanam kaliandra merah ada keluhan juga kritik karena masih ragu apakah nanti bisa dijual. Tetapi sekarang justru banyak yang mau tanam juga bahkan ada yang menyesal kenapa dulu tidak ikut menanam," kata petani asal Kecamatan Geger, Bangkalan, Madura, tersebut.

Wajah Sarolan berseri. Ia menunggu panen kedua meskipun baru mulai menanam setahun lalu. Ia tidak harus risau  menunggu masa panen pohon jati yang lamanya 50 tahun dan delapan tahun untuk sengon.

"Panen pertama baru tiga mobil pick up, kalau total masih menunggu sekitar 65 mobil pick up," ujar Sarolan.

Menurut Sarolan, pohon kaliandra merah dulu tidak berarti apa-apa, bahkan kayunya biasa dibuang dan daunnya untuk makanan ternak. Tetapi kini, kayu kaliandra merah adalah pundi-pundi uang.

Harga jual 1,5 ton kayu kaliandra merah mencapai Rp550 ribu. Warga di Geger tentu saja antusias karena menanam pohon kaliandra merah sangat mudah.

Setidaknya sudah ratusan petani dari Desa Kombangan, Geger, dan Togubang yang menanam kaliandra merah di hutan rakyat Gerbang Lestari, yang luasnya 214 hektare dan disebut kebun energi.

Kaliandra merah kini menjadi berkah bagi mereka karena bisa menambah penghasilan.

Kayu kaliandra merah menjadi bahan baku untuk pelet kayu (wood pellet) yang tengah dikembangkan di Desa Kombangan.

Pabrik pelet kayu CV Gerbang Lestari dibangun dengan sumbangan dari donatur yang disalurkan oleh Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dalam rangka menjalankan ekonomi rendah karbon dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim.

Pelet kayu dari serbuk kayu merupakan bahan bakar berbasis biomasa yang dapat menjadi alternatif pengganti batu bara namun lebih ramah lingkungan karena emisi CO2 yang dikeluarkan sangat rendah dan dapat diabaikan atau disebut carbon neutral.

Penerapan konsep carbon neutral melalui integrasi kebun energi kaliandra dan pabrik pelet kayu seperti di hutan rakyat Kecamatan Geger ini baru pertama kali dilakukan.

Hasilnya ternyata bukan hanya meningkatkan tutupan lahan pada areal kritis dan mengurangi emisi lewat penyerapan karbon, namun juga mampu meningkatkan ekonomi warga.

Petani yang menanam kaliandra merah tidak hanya memperoleh insentif ekonomi melalui penjualan kayunya, mereka juga bisa memanfaatkan daun kaliandra untuk makanan ternak serta usaha lebah madu yang bisa berlangsung terus menerus selama 15 tahun selama terubusan kaliandra merah tumbuh.

"Dulu kayu hanya dibuang tetapi dengan adanya pelet kayu ternyata bisa meningkatkan pemasukan karena kami bisa menjual kayu kaliandra ke pabrik untuk bahan baku pelet kayu. Pendapatan saya sekarang ada terus, kalau dulu kan musiman," ujar Muhali, yang juga berdagang sembako.


Yang dibuang kini menjadi uang

Menurut penelitian Institut Pertanian Bogor, kaliandra merah merupakan bahan baku terbaik untuk pelet kayu.

Penelitian yang dilakukan atas permintaan Korea Selatan itu menunjukkan, kaliandra merah lebih unggul dari pohon gamal, petai cina, dan sengon buton dalam segi laju pertumbuhan dan berat jenis yang lebih tinggi yang berpengaruh pada kadar abu yang lebih rendah. Umur kaliandra bahkan bisa mencapai 29 tahun dari sekali tanam.

Pemuka agama di Geger, Kyai Haji Irham Rofii, mengungkapkan menanam pohon pernah dianggap kafir karena alasan politik di Madura.

"Dulu di Geger sangat gersang sedangkan kalau musim hujan juga banjir. Sehingga kami berpikir kalau Madura begini-begini saja, orang Madura enggak akan kerasan (betah)," katanya.

"Tetapi dulu menanam kayu bisa disebut kafir, tidak sah salatnya karena alasan politik. Setelah kyai mulai menanam, baru halal," jelas Irham, pemimpin Pondok Pesantren Darul Ittihad.

Pengaruh kyai di Madura sangat besar. Irham mengatakan, ayahnya Kyai Haji Rofii adalah orang pertama yang membawa bibit rambutan ke Geger.

Irham yang juga gemar menanam pohon itu telah berhasil mengajak warga mengurangi lahan-lahan kritis sampai saat ini.

Ia juga diminta Kementerian Kehutanan untuk ikut studi banding mengenai pelet kayu yang kini mulai dikembangkan di Geger.

"Awalnya saya kumpulkan sepuluh kelompok petani andalan di sini lalu dibentuk 10 kelompok tani FMU Gerbang Lestari yang terdiri dari 30 orang untuk menanam kaliandra merah. Sekarang masyarakat mulai ikut tanam kaliandra merah bahkan sudah di luar kawasan binaan kami," tutur Irham, yang juga melibatkan santrinya untuk mengurus koperasi Gerbang Lestari.


Berkat pelet kayu

Inkubator industri pelet kayu dari pabrik CV Gerbang Lestari baru menjalani uji coba sebulan namun pembeli maupun perantara pelet kayu lokal dan dari luar negeri sudah berbondong-bondong datang.

Pabrik yang terletak di Desa Kombangan di tengah-tengah hutan rakyat Gerbang Lestari itu dirancang memiliki kapasitas satu ton per jam.

Dengan kapasitas tersebut dan jam kerja delapan jam sehari, akan dibutuhkan sekitar 12 ton bahan baku pelet kayu setiap harinya. Sementara harga jual pelet kayu Rp1,4 juta hingga Rp2,5 juta per ton.

Project Manager Daru Asycarya mengatakan para pembeli sudah berdatangan dengan permintaan mereka yang fantastis, salah satunya Korea Selatan yang sudah memesan 300 ton pelet kayu per bulan.

Namun, lanjut Daru, karena produksi mesin terbatas, maksimal menghasilkan sembilan ton per hari, maka permintaan pembeli tidak semua bisa dipenuhi.

"Pelet kayu adalah bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dari batu bara. Beberapa pembeli datang dengan permintaan yang fantastis. Ini jadi pendorong masyarakat di sini untuk menanam kaliandra semakin banyak karena ini menjadi ikon," jelasnya.

Pelet kayu memang bisa menjadi masa depan di Geger bahkan desa lainnya karena keuntungan pelet ditaksir mencaai Rp86.250.000 per bulan.

Kepala Sekretariat ICCTF Syamsidar Thamrin mengatakan pelet kayu dari serbuk kaliandra seharusnya menjadi kampanye nasional untuk memenuhi kebutuhan energi.

Pemasukan yang besar dari pabrik pelet kayu di Geger sudah menanti dengan banyaknya peminat namun masih membutuhkan tambahan mesin penunjang.

"Masalahnya sekarang pembeli sudah siap tinggal pastikan mesinnya. Permintaan yang banyak belum bisa dipenuhi. Pelet kayu ini potensi besar dan mudah pengelolaannya," ujar Syamsidar.

Ahli pelet kayu dan energi terbarukan dari Institut Pertanian Bogor Profesor Yanto Santosa menambahkan pelet kayu juga bisa digunakan sebagai sumber energi di rumah tangga untuk keperluan memasak.

"Bayangkan kalau tiap desa dan pulau-pulau terpencil punya industri pelet kayu untuk listrik, masak, dan lainnya jadi enggak perlu beli minyak di luar. Pemerintah harus berani menggunakan biomasa energi dengan wood pellet," kata Yanto.

Oleh Monalisa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014