Masyarakat jangan hanya bisa menerima saja. Karakter hanya bisa menerima itu harus ditinggalkan, kita harus kritis karena kita bayar pajak"
Jakarta (ANTARA News) - Personel band punk asal Jakarta, Marjinal, menyebut kontestasi Pilpres yang diiringi praktik saling menjatuhkan antarpasangan capres-cawapres bagai menyulut perang saudara.

"Masing-masing pihak bicara, tapi bicaranya menawarkan konflik terus, akibatnya masyarakat itu disuguhi hal-hal berbau konflik, bukannya disuguhi suatu hal yang mengusung perubahan lebih baik," kata personel Marjinal, Bob, kepada Antara di Jakarta, Sabtu malam lalu.

Marjinal adalah band yang dikenal kerap menyuarakan masalah masyarakat miskin. Marjinal juga terkenal di kalangan aktivis 1998, lantaran kerap menggelar konser-konser di jalanan untuk menyemangati mahasiswa saat menumbangkan rezim Presiden Soeharto.

Menurut Bob, seharusnya kedua calon pemimpin bisa memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat. Jika keduanya terus mengedepankan persaingan stidak sehat dan saling menjatuhkan, maka sama halnya membodohi masyarakat.

"Yang miris juga adalah perkawinan (koalisi) partai. Partai yang tadinya bertentangan dan saling menjatuhkan, lalu bergabung buat menjatuhkan lawannya yang lain, apa namanya kalau bukan mencari kekuasaan," ujar dia.

Oleh karena itu, Bob berpesan kepada masyarakat, khususnya masyarakat bawah, agar jeli melihat latar belakang calon pemimpin. Masyarakat harus dapat memahami untuk apa sebetulnya pemimpin itu dipilih.

"Masyarakat jangan hanya bisa menerima saja. Karakter hanya bisa menerima itu harus ditinggalkan, kita harus kritis karena kita bayar pajak," ujar dia.

Sementara itu, kata Bob, Marjinal sejatinya sudah bosan dengan "ritual" kampanye yang selalu bergulir menjelang pemilu. Baginya dari masa ke masa, capres selalu menjanjikan hal-hal baik di masa kampanye, namun kenyataannya tidak sedikit dari janji-janji itu mereka lupakan.

Maksimalkan peran RT

Bob mengingatkan kepada calon presiden dan calon wakil presiden terpilih untuk memaksimalkan peran ketua rukun tetangga (RT) sebagai orang yang paling mengetahui kondisi dan realitas masyarakat.

Dia mengatakan ketua RT sebagai abdi negara yang ada di tingkat paling bawah dan bersentuhan langsung dengan masyarakat, justru mendapatkan ruang layak untuk didengarkan rekomendasinya dalam setiap pengambilan kebijakan.

"Kan ada fungsi RT, RW, camat, lurah. Seharusnya RT itu yang diberikan kuasa merekomendasikan kebijakan kepada RW tentang apa yang dibutuhkan warga, lalu lanjut ke lurah hingga camat," ujar dia.

Bob mengatakan jika pemerintahan mendatang tidak memaksimalkan peran ketua RT dalam mengambil kebijakan, maka kebijakan mereka kurang atau bahkan tidak prorakyat.

"Sistem perintah dari tingkat atas ke bawah itu cenderung macet. Harusnya dari bawah ke atas," tegas dia.



Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014