Jakarta (ANTARA) - Ketahanan pangan merupakan isu strategis bagi Indonesia, mengingat pertumbuhan penduduk yang pesat dan perubahan iklim yang semakin ekstrem.
Ketahanan dan swasembada pangan bahkan menjadi salah satu topik yang disinggung oleh Presiden Prabowo Subianto, saat dilantik di Gedung MPR/DPR RI di Jakarta, Minggu (20/10).
Prabowo berambisi untuk mewujudkan swasembada pangan agar Indonesia tidak bergantung pada negara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Prabowo meyakini Indonesia bisa mencapai swasembada pangan paling tidak empat hingga lima tahun ke depan. Indonesia, kata dia, bahkan siap menjadi lumbung pangan dunia.
"Kita tidak boleh tergantung pada sumber makanan dari luar. Dalam krisis, dalam keadaan genting, tidak ada yang akan mengizinkan barang-barang mereka untuk kita beli. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, kita harus mencapai ketahanan pangan," kata Prabowo dalam pidatonya saat pelantikan.
Untuk itu, Prabowo bahkan membuat kementerian baru, yakni Kementerian Koordinator Bidang Pangan yang dipimpin oleh Zulkifli Hasan, yang akan membantu mewujudkan cita-cita tersebut. Prabowo juga mengangkat Muhamad Mardiono sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan.
Dalam program Astacita yang dicanangkan untuk lima tahun mendatang, Prabowo-Gibran telah memiliki beberapa program kerja yang akan dilakukan untuk mewujudkan swasembada pangan, di antaranya melanjutkan dan menyempurnakan program kawasan sentra produksi pangan atau food estate secara berkelanjutan, terutama untuk komoditas padi, jagung, singkong, kedelai, dan tebu.
Ditargetkan minimal 4 juta hektare tambahan luas panen tanaman pangan tercapai pada 2029.
Kemudian, menjalankan agenda Reformasi Agraria untuk memperbaiki kesejahteraan petani sekaligus mendukung peningkatan produksi di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan kelautan.
Lalu, merevitalisasi dan membangun sebagian besar hutan rusak dan tidak termanfaatkan menjadi lahan untuk aren, ubi kayu, ubi jalar, sagu, sorgum, kelapa, dan bahan baku bioetanol lainnya dengan sistem tumpang sari.
Selain itu, meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan sarana prasarana pendukung pertanian rakyat, teknologi pangan terpadu, mekanisasi pertanian, inovasi digital (digital farming), dan memperbaiki tata kelola rantai nilai hasil pertanian.
Food estate
Indonesia pernah menyatakan diri sebagai negara yang mencapai swasembada pangan terutama beras. Namun, dalam beberapa tahun terakhir Indonesia harus impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya ataupun untuk menjaga keamanan stok beras.
Kekurangan pangan itu terjadi disebabkan antara lain oleh alih fungsi (konversi) lahan pertanian menjadi kawasan industri dan permukiman serta semakin sedikit orang yang mau menjadi petani.
Pemerintah pun beberapa kali membangun proyek lumbung pangan (food estate) sebagai upaya menjaga ketahanan pangan nasional.
Pada era Orde Baru, misalnya, pemerintahan Soeharto pernah membangun proyek food estate yang dinamai Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah pada 1995.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikembangkan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada 2010 dengan membuka lahan seluas 1,23 juta hektare.
SBY juga mengembangkan food estate pada 2011 di Bulungan Kalimantan Utara dengan target 30 ribu hektare lahan pertanian. Selain itu, ada juga food estate di Ketapang, Kalimantan Barat dengan lahan seluas 100.000 hektare sawah.
Program food estate berlanjut pada era Presiden Joko Widodo. Food estate atau kawasan sentra produksi pangan ini menjadi proyek prioritas strategis berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2022 tentang Rencana kerja Pemerintah Tahun 2023.
Program ini berlokasi di tujuh wilayah, yakni di Banyuasin (Sumatera Selatan), Belu (NTT), Humbang Hasundutan (Sumatera Utara, Kapuas (Kalimantan Tengah), Merauke (Papua Selatan), Pulau Pisang (Kalimantan Tengah), dan Sumba Tengah (NTT).
Proyek-proyek tersebut ditargetkan dapat meningkatkan ketersediaan beras nasional mencapai 45,4 juta ton, produksi jagung 34,12 juta ton, dan produksi umbi-umbian 25,2 juta ton.
Namun, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan bahwa program food estate yang telah dilakukan sejak era Soeharto itu belum ada yang bisa dikatakan berhasil.
Oleh karena itu, dia mewanti-wanti pemerintahan Prabowo agar lebih berhati-hati dalam melanjutkan proyek food estate agar kegagalan yang sebelumnya tak terulang.
Pemerintah harus membuat perencanaan yang matang yang didasarkan pada kajian yang komprehensif terhadap kondisi tanah, iklim, dan sosial ekonomi wilayah.
Pemerintah harus memperhatikan pula aspek lingkungan dan mencegah kerusakan ekosistem. Pemerintah harus bersabar dan tidak terburu-buru untuk memetik hasilnya secara instan.
“Tiga tahun, empat tahun, lima tahun periode pemerintahan belum tentu bisa dipetik hasilnya. Namun, jika dilakukan dengan benar, ini memberi fondasi bagi pemerintahan berikutnya, siapa pun itu presidennya,” kata dia.
Melindungi lahan pertanian
Selain food estate yang harus direncanakan dengan matang, Khudori juga menyoroti pentingnya pemerintahan baru untuk mengendalikan alih fungsi (konversi) lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian, dengan memperkuat regulasi yang melindungi lahan sawah dari alih fungsi.
Sebetulnya selama ini Indonesia telah memiliki dua undang-undang yang secara tegas mengatur perlindungan lahan pertanian, yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
Kedua undang-undang ini secara tegas membatasi konversi lahan pertanian, terutama lahan sawah yang dilengkapi irigasi.
Namun, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja, sejumlah aturan yang melindungi lahan pertanian dinilai telah dilonggarkan. Hal ini dikhawatirkan akan semakin mempercepat laju konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian.
“Konversi boleh, tetapi dengan syarat yang sangat sangat sulit. Kalau dilanggar, sanksinya berat,” ujar dia.
Produksi beras nasional cenderung turun dalam lima tahun terakhir. Selain gagal panen akibat serangan hama dan penyakit serta bencana alam akibat perubahan iklim termasuk fenomena El Nino, penurunan produksi beras juga diakibatkan oleh makin berkurangnya lahan pertanian pangan khususnya pangan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional turun dari 31,42 juta ton pada 2018 menjadi 31,31 juta ton pada 2019.
Produksi beras pada 2020 yang mencapai 31,36 juta ton, turun lagi menjadi 31,33 juta ton pada 2021. Meski naik menjadi 31,54 juta ton pada 2022, produksi beras RI pada 2023 kembali turun menjadi 31,10 juta ton.
Merujuk data dari Kementerian Pertanian pada 2020, selama kurun waktu lima tahun (2015-2019), terdapat pengurangan luas lahan sawah pertanian dari 8,09 juta hektare pada 2015, menjadi 7,46 hektare pada 2019.
Sementara itu, menurut Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada 2022, rata-rata konversi lahan sawah menjadi nonsawah di Indonesia mencapai 100.000 hingga 150.000 hektare per tahun.
Untuk mengatasi tantangan ketahanan pangan yang semakin kompleks, pemerintah perlu menunjukkan komitmen yang kuat, didukung oleh visi yang jelas dan perencanaan yang matang. Kolaborasi aktif antara pemerintah, petani hingga pihak swasta juga sangat krusial untuk mewujudkan visi ketahanan pangan.
Dengan potensi sumber daya alam yang besar, Indonesia tidak hanya dapat mencapai swasembada pangan, tetapi juga berkontribusi pada ketahanan pangan global.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024