Jakarta (ANTARA) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta kepada pemerintah agar aturan perihal minuman keras (miras) diperketat, sehubungan kejadian penganiayaan kepada dua santri Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, DI Yogyakarta.
"Kita berharap regulasinya diperketat dan berdasarkan pantauan kita di Yogya memang ada perkembangan baru di sana di mana peredaran ini semakin meluas," ujar Ketua PBNU Ulil Abshar Abdallah di Jakarta, Jumat.
Ia ingin agar masalah miras dapat segera direspons dengan serius.
Kepada aparat penegak hukum, ia meminta agar pelaku yang sudah ditangkap dapat ditindak seadil-adilnya serta berharap kasus tersebut tidak terulang kembali.
"Kita sedih, kita berhati-hati dengan keadaan seperti ini karena dampak-dampak sosialnya sangat berbahaya," kata dia.
Direktur Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Wahid mendorong aparat penegak hukum dan Pemerintah DI Yogyakarta memiliki program-program khusus terkait penanganan dan penegakan hukum terhadap penjualan minuman keras dan narkoba di wilayah tersebut.
Ia mengatakan minuman keras legal untuk dijual dan dibeli di Indonesia, tapi harus sesuai aturan.
"Pemerintah Daerah DIY perlu untuk menyikapi persoalan tersebut. Mengingat persoalan narkoba hingga minuman keras sudah menjadi atensi publik," katanya.
Ia berharap, ada aturan yang lebih tegas terkait peredaran minuman keras dan bahkan alkohol. Jangan sampai kasus penusukan masyarakat kembali terulang akibat masyarakat mengonsumsi minuman keras.
Kepolisian Resor Kota Yogyakarta meringkus tujuh orang yang diduga sebagai pelaku penusukan terhadap dua santri di kawasan Prawirotaman, Mergangsan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tujuh pelaku masing-masing berinisial V (41), N alias E (29), F (27), J (26), Y (23), T (25), dan R alias C (43).
Baca juga: Polisi ringkus tujuh pelaku penusukan dua santri di Yogyakarta
Baca juga: Ribuan santri datangi Polda DIY tuntut penuntasan kasus penusukan
Baca juga: Penjual obat keras ke pelaku penusukan santri diciduk
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024