Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang pemahaman masyarakat terhadap agama dan budaya kerap menyebabkan terjadinya perkawinan anak.
"Pemahaman agama dan budaya seringkali berkontribusi terhadap terjadinya perkawinan anak. Padahal kalau kita mengacu pada ayatnya, Ar Rum ayat 21, misalnya, memberikan gambaran perkawinan itu bertujuan untuk mewujudkan kehidupan sakinah, penuh cinta dan kasih sayang," kata Anggota Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor dalam webinar bertajuk "Road to HAKTP (Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan): Urgensi Perkawinan Anak", di Jakarta, Jumat.
Maria Ulfah Anshor menyampaikan bahwa di ayat yang lain juga disebutkan bahwa menikah itu adalah relasi yang setara.
"Sementara dalam konteks perkawinan anak yang salah satunya berusia dewasa, ada relasi kuasa," katanya.
Pihaknya juga menyoroti mengenai pendidikan sebagai faktor pendorong terjadinya perkawinan anak.
"Pendidikan juga seringkali menjadi faktor (terjadinya perkawinan anak). Orang tua sering memutuskan menikahkan anaknya yang sudah tidak sekolah," katanya.
Padahal, menurut dia, orang tua wajib memberikan pendidikan yang maksimal pada anak.
Pihaknya berharap kebijakan wajib belajar 12 tahun dapat meningkatkan usia perkawinan.
"Setidaknya wajib belajar 12 tahun diharapkan bisa meningkatkan usia perkawinan, terutama pada anak perempuan," kata Maria Ulfah Anshor.
Kemudian faktor lainnya adalah ekonomi dan kemiskinan. "Misalnya orang tuanya terlilit utang, anak dijadikan sebagai alat transaksi. Nikahi saja anak saya," katanya.
Selain itu, juga pengasuhan yang rendah. "Orang tua khawatir (anak) hamil di luar nikah, pengawasan orang tua yang lemah. Faktor ini sesungguhnya yang harus dikoreksi adalah pengasuhan. Bagaimana memastikan pengasuhan dari orang tua bisa menjamin pendidikan anak berlangsung hingga perguruan tinggi," kata Maria Ulfah Anshor.
Baca juga: Kemenko PMK: Perkawinan anak rentan timbulkan kekerasan
Baca juga: Kemenag ajak mahasiswa jadi agen cegah perkawinan anak
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024