Jakarta (ANTARA) - Sekitar 20 orang dari berbagai usia dengan tertib mengantre di halte Fatmawati untuk menunggu kedatangan bus listrik D21 berwarna oranye yang akan membawa mereka menuju Universitas Indonesia.
Alasan memilih bus listrik, selain karena lebih nyaman (tidak berisik) juga lebih dingin dibandingkan bus berbahan bakar solar.
PT Transportasi Jakarta selaku operator Transjakarta menargetkan sampai dengan akhir 2024 akan mengoperasikan 300 bus listrik untuk memberikan pelayanan kepada warga Jakarta.
Kehadiran bus listrik ini sudah barang tentu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, mulai dari stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU), industri baterai, bengkel, suku cadang, dan lainnya yang pada akhirnya bisa menggerakkan ekonomi.
Pertumbuhan ekosistem kendaraan listrik ini juga sejalan dengan program Astacita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka khususnya butir dua: "Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru".
Dari butir ini transisi energi menjadi keharusan, dari energi berbasis fosil beralih energi ramah lingkungan untuk mendorong perekonomian.
Namun, untuk mewujudkan transisi energi tentunya membutuhkan komitmen yang kuat dari pengambil kebijakan agar dalam pelaksanaannya memberikan keadilan bagi masyarakat dan bermanfaat bagi pembangunan manusia.
Transisi energi juga mencerminkan upaya Presiden Prabowo Subianto agar Indonesia mencapai swasembada energi yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi (8 persen) pada 2029.
Dengan demikian, dalam kurun waktu tersebut Indonesia harus bisa keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap) melalui transformasi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi hijau.
Banyak pihak
Untuk mempercepat transisi energi tentu membutuhkan peran banyak pihak mengingat dalam pelaksanaannya tidak sekadar membuat kebijakan agar beralih dari energi fosil ke terbarukan. Di dalamnya juga harus mempertimbangkan soal ketahanan energi dan keberlanjutan.
Harus diakui transisi energi menjadi keharusan seiring dengan komitmen Indonesia bersama negara-negara di dunia untuk memangkas emisi gas rumah kaca yang menyumbang kepada pemanasan global (global warming).
Pada Conference of Parties (COP-28) tahun lalu, Indonesia bersama dengan 200 negara menyepakati keputusan untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat (triple up) dan melipatgandakan upaya efisiensi energi (double down) pada tahun 2030.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut Pemerintah ke depan harus bisa mengintegrasikan kesepakatan COP-28 di dalam perencanaan energi nasional dan sektoral, serta mengeluarkan kebijakan yang menghasilkan percepatan pembangunan energi terbarukan.
Salah satu indikator yang menunjukkan komitmen Pemerintah terhadap transisi energi adalah naiknya tingkat bauran energi terbarukan pada listrik dan bahan bakar cair. Tentunya beriringan dengan makin menurunnya penggunaan energi fosil.
Pemerintah harus memberikan jaminan percepatan transisi energi berkeadilan. Hal ini dapat dilihat pada peningkatan target bauran energi terbarukan Indonesia serta strategi untuk merealisasikannya ke dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang akan diundangkan melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Selanjutnya, peningkatan target bauran energi terbarukan ini perlu diselaraskan dengan dokumen perencanaan lainnya seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), serta dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang akan disampaikan kepada Badan Iklim PBB tahun depan.
Pemerintah perlu menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca, khususnya di sektor energi, yang selaras dengan pembatasan suhu bumi di angka 1,5 derajat Celcius.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024