Jakarta (ANTARA) - Organisasi masyarakat sipil MADANI menyerukan bahwa agenda transisi energi untuk mengatasi perubahan iklim perlu dilakukan beriringan dengan upaya menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati ke-16 (COP16).
Dalam keterangan diterima di Jakarta, Sabtu, Salma Zakiyah sebagai Program Officer Hutan dan Iklim dari Yayasan MADANI Berkelanjutan mengatakan bahwa agenda transisi energi untuk mengatasi perubahan iklim global tidak boleh merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati.
"Seluruh kebijakan terkait iklim dan keanekaragaman hayati harus didasarkan pada prinsip keadilan iklim. Ini mencakup pengakuan dan perlindungan wilayah hidup kelompok rentan, pelibatan penuh dan efektif, perlindungan sosial, serta pemulihan hak-hak kelompok rentan ketika terjadi kerusakan, termasuk pemulihan hak dan wilayah hidup masyarakat adat dan lokal," ujar Salma.
Hal itu, katanya, sesuai dengan target 8 dari kesepakatan global mengenai keanekaragaman hayati Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GB) untuk meminimalkan dampak aksi iklim terhadap keanekaragaman hayati.
Oleh karena itu dia mendorong Indonesia menyelaraskan kebijakan iklim dengan kebijakan perlindungan keanekaragaman hayati, termasuk harmonisasi dokumen iklim Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) dengan Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP).
Baca juga: Pakar ingatkan tantangan sosial ancam keanekaragaman hayati Kolombia
Berbicara di sela-sela COP16 di Kolombia, yang berlangsung 21 Oktober-1 November 2024, Direktur Eksekutif Auriga Nusantara Timer Manurung mendesak Pemerintah Indonesia mengambil langkah pembatasan untuk produksi nikel. Hal itu karena dari 3,1 juta hektare deposit nikel sekitar 80 persen di antaranya berada di wilayah timur Indonesia yang kaya keanekaragaman hayati.
Nikel sendiri merupakan salah satu bahan untuk komponen baterai listrik untuk mobil listrik, yang kini terus ditingkatkan penggunaannya di dunia sebagai bagian dari transisi energi fosil ke jenis yang berkelanjutan.
Dia berharap pemerintah dapat menetapkan kuota bagi ekspansi tambang nikel di luar wilayah yang tidak bisa ditambang atau no go zone.
"Untuk daerah di luar No Go Zone atau daerah yang tidak bisa ditambang lagi, perlu ada perhitungan berdasarkan ketersediaan nikel di Indonesia, kebutuhan akan nikel yang masuk akal, lama waktu yang dibutuhkan bagi Indonesia untuk melakukan ekspansi pertambangan nikel, dan potensi ancaman terhadap ekosistem dan biodiversitas yang akan terjadi dari ekspansi tambang nikel," tuturnya.
Baca juga: Organisasi sipil serukan RI dukung agenda masyarakat adat di COP16 CBD
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024