"Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih, atas nama DJ dan AH,"
Jakarta (ANTARA) - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin, memanggil ketua kelompok kerja (pokja) bernama Djumali (DJ) sebagai saksi penyidikan dugaan korupsi proyek pembangunan shelter korban tsunami di kawasan Pelabuhan Bangsal, Kabupaten Lombok Utara, NTB.
"Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih, atas nama DJ dan AH," kata Anggota Tim Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Menurut informasi yang dihimpun, saksi AH adalah Andria Hidayati selaku Sekretaris Pokja. AH juga dipanggil penyidik sebagai saksi proyek pembangunan shelter tsunami di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pemanggilan ini menjadi kedua kalinya Djumali dipanggil oleh KPK dalam perkara tersebut. Djumali sebelumnya telah menjalani pemeriksaan pada Selasa (6/8).
Dalam pemeriksaan tersebut penyidik mendalami pengetahuan yang bersangkutan soal proses lelang dan serah terima shelter.
Sebelumnya, Senin (8/7), KPK mengumumkan dimulainya penyidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan tempat evakuasi sementara atau shelter korban tsunami oleh Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada tahun 2014.
KPK juga telah menetapkan dua orang tersangka. Meskipun belum menyebut identitas lengkap keduanya, KPK mengungkapkan bahwa tersangka merupakan penyelenggara negara dan pelaksana proyek dari kalangan BUMN.
Kerugian keuangan negara yang muncul dari penyidikan ini mencapai Rp19 miliar. Angka kerugian itu diumumkan KPK bersama dengan adanya penetapan tersangka.
Pekerjaan proyek pembangunan shelter tsunami di Lombok Utara ini berada di bawah Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) Provinsi NTB pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Proyek dikerjakan pada bulan Agustus 2014 oleh kontraktor dengan anggaran Rp21 miliar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Proyek gedung dengan perencanaan dapat menampung 3.000 orang tersebut terungkap sempat ditangani Polda NTB sampai tahap penyelidikan pada tahun 2015.
Pada tahapan tersebut, kepolisian juga melakukan pengecekan bersama ahli konstruksi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Dari hasil penyelidikan, Polda NTB pada tahun 2016 melakukan gelar perkara dan menyatakan tidak melanjutkan proses hukum dari dugaan korupsi yang muncul dalam pekerjaan proyek tersebut.
Selanjutnya, pada bulan Juli 2017, tercatat PUPR menyerahkan hasil pekerjaan gedung evakuasi sementara itu ke Pemerintah Kabupaten Lombok Utara.
Sekitar satu tahun setelah penyerahan pekerjaan, terjadi bencana gempa bumi di Pulau Lombok dan gedung tersebut turut terkena dampak kerusakan yang cukup parah.
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024