Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berupaya mendukung penguatan permodalan dan penerapan tata kelola yang baik untuk menjaga keberlanjutan bisnis dari industri Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau fintech peer to peer (P2P) lending.
“Nah banyak sekali perusahaan fintech yang berhenti di tengah jalan karena memang kurangnya tata kelola yang memadai, dan juga permodalan atau kurang menarik buat investor untuk bisa menanamkan dananya untuk bisnis ini,” kata Kepala Departemen Pengaturan dan Perizinan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto (IAKD) OJK Djoko Kurnijanto di Jakarta, Senin.
Dalam konferensi pers Bulan Fintech Nasional (BFN) dan The 6th Indonesia Fintech Summit and Expo (IFSE) 2024 di Gedung OJK Menara Radius Prawiro itu, Djoko menuturkan pengembangan industri fintech menghadapi empat tantangan utama, yakni keberlanjutan usaha, sumber daya manusia, kemitraan dan kolaborasi, dan lingkungan regulasi yang memadai untuk kepentingan industri fintech.
Ia mengatakan keberlanjutan bisnis suatu perusahaan fintech dapat dilihat dari dua aspek, yakni tata kelola perusahaan dan permodalan, yang harus baik dan memadai.
“Dan belum lagi kalau kita melihat dari data bahwa investor yang menginvestasikan dananya di fintech itu sekarang ini cenderung turun di tahun 2023 kemarin, tapi Alhamdulillah juga ini dari annual survey yang kemarin di launching oleh AFTECH ada kecenderungan dari beberapa perusahaan fintech itu memang menaikkan rencana untuk bisa meningkatkan eksposur dari investasi pihak luar,” ujarnya.
Dalam upaya memperkuat permodalan, ia menuturkan beberapa perusahaan fintech mulai melirik peningkatan investasi dari pihak luar.
“Perusahaan fintech itu sekarang ini sudah mulai meningkatkan penggalangan dananya dari investor apakah itu dari angel investor atau dari joint venture atau dari tempat lain, tapi intinya adalah salah satu tantangan utama adalah business continuity, yang itu direpresentasikan dengan adanya investor,” ujarnya.
Selanjutnya, ia menekankan pentingnya penguatan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing di industri fintech dengan mengoptimalkan pemanfaatan bonus demografi. Diharapkan, melalui kegiatan BFN dan IFSE 2024 orang-orang yang tertarik di bidang fintech dapat bertemu dengan para pakar untuk bisa meningkatkan kemampuan terkait digitalisasi.
“Yang harus kita ubah bagaimana mereka menjadi talent yang baik untuk bisa memanfaatkan keberadaan digital ini dimana mereka ini sudah menjadi digital native ini untuk menjadi lebih berdaya guna lagi,” ujarnya.
Pengembangan industri fintech juga memerlukan penguatan kemitraan atau kolaborasi antarpemangku kepentingan, termasuk melalui konsep Penta Helix Innovation Hub, sebagaimana yang ditekankan dalam Roadmap atau Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto (IAKD) 2024-2028 yang diluncurkan OJK pada 9 Agustus 2024.
OJK memiliki visi untuk membangun Penta Helix Innovation Hub yang menghubungkan regulator dan pemerintah, industri (pelaku industri, asosiasi dan sektor swasta), lembaga keuangan, akademisi dan organisasi internasional, serta media dan masyarakat umum.
Selain itu, penguatan industri fintech juga membutuhkan lingkungan regulasi yang memadai dan pengawasan terutama dalam merespons perkembangan inovasi dan teknologi di sektor fintech.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan mengatakan per Oktober 2024, terdapat 14 dari 97 penyelenggara peer- to-peer (P2P) lending yang belum memenuhi kewajiban ekuitas minimum Rp7,5 miliar.
“Dari 14 penyelenggara peer-to-peer lending tersebut, 5 diantaranya sedang dalam proses analisis permohonan peningkatan modal disetor,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman di Jakarta, Jumat (1/11).
Dalam rangka penegakan ketentuan dan pelindungan konsumen di sektor PVML, OJK telah mencabut izin usaha PT Investree Radhika Jaya atau Investree karena tidak memenuhi ketentuan ekuitas minimum dan pelanggaran ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan OJK Nomor 10 Tahun 2022 serta kinerja yang memburuk dan telah mengganggu operasional serta pelayanan kepada masyarakat.
OJK juga mencabut izin usaha PT Rindang Sejahtera Finance karena perusahaan tidak dapat melakukan perbaikan tingkat kesehatan dan pemenuhan ketentuan.
Pencabutan izin usaha tersebut juga merupakan bagian dari upaya OJK untuk mewujudkan industri jasa keuangan yang sehat, khususnya penyelenggara LPBBTI yang berintegritas, memiliki tata kelola yang baik dan menerapkan manajemen risiko yang memadai dalam rangka perlindungan nasabah atau masyarakat.
Baca juga: OJK: Bulan Fintech Nasional 2024 tingkatkan literasi keuangan digital
Baca juga: Praktisi tekankan pentingnya UU fintech tekan pinjol ilegal
Baca juga: OJK dan AFPI berkomitmen perkuat ekosistem fintech lending
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024