Jakarta (ANTARA) - Malam masih menjadi misteri bagi Dina. Tak banyak perlengkapan yang membersamai peternak ayam organik dari pelosok daerah Megamendung, Kabupaten Bogor itu.
Hanya senter serta lampu usang berdaya baterai sebagai sumber cahayanya.
Tak jarang nampak kekecewaan di wajah Dina. Terutama, ketika harus melihat kenyataan pahit, ayamnya mati karena kedinginan atau bahkan diserang penyakit.
Menyusur pekat hutan, menjadi keseharian Dina ketika merawat ayam-ayam yang menjadi ternaknya. Kerap ia membayangkan, suasana peternakannya bisa lebih terang seperti nyala jutaan kunang-kunang di antara daun pohon-pohon yang bergelombang karena angin.
Peternakan Dina baru bisa ditemukan setelah lebih jauh menyisir belukar area dalam Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sebuah peternakan yang berdiri di bawah bayang-bayang hutan lebat, dan tanpa pasokan listrik.
Gemuruh deru mesin kendaraan Ibu Kota hanya terdengar sayup saat melintas, seakan terhempas tebalnya pepohonan dan perbukitan yang mengelilingi area peternakan Dina.
Di sini, jauh dari gemerlap binar Jakarta yang tak pernah tidur, Dina memulai perjalanan panjangnya sebagai peternak organik. Langit mendung Kabupaten Bogor kerap kali menjadi saksi bisu bagaimana perempuan ini bangun pagi, menghirup udara pegunungan yang sejuk, dan berjalan menembus kabut untuk merawat ayam-ayam organiknya.
Dina, dengan wajah yang memancarkan keteguhan, memiliki mimpi sederhana: menciptakan telur-telur yang sehat tanpa sentuhan bahan kimia sedikit pun.
Perlu pasokan listrik
Namun, jalan menuju mimpi itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, organik adalah sebuah konsep bisnis dan idealisme yang kerap beradu untuk saling mencari titik temu dalam satu visi.
Peternakan Dina berbeda. Konsep organik yang ia terapkan bukan sekadar gaya hidup, meski bukan berada di lahan besar, tapi berkomitmen penuh pada kelestarian alam dan kesehatan.
Ayam-ayam di peternakannya bebas berkeliaran, memakan pakan alami tanpa tambahan bahan kimia dan di bawah pengawasan ketat teknologi. Namun Dina masih merasa ada kendala dalam keberhasilan usahanya yakni keberlanjutan pasokan listrik yang stabil.
Bagaimana mungkin teknologi untuk peternakan ayamnya bisa berfungsi tanpa adanya listrik yang stabil?
Meski Kabupaten Bogor berada di dekat Ibu Kota, tidak semua kawasan memiliki akses listrik yang memadai. Terutama di pedalaman, seperti tempat Dina membuka lahannya.
“Di sini, banyak peternak lain yang juga berjuang mencari energi listrik. (Prosesnya memakan waktu), namun satu per satu (peternakan) mulai teraliri,” ujarnya.
Akibat minimnya pasokan listrik, mereka berhadapan dengan keterbatasan kemampuan pengelolaan ternak dan infrastruktur untuk pengawasan dan operasional usaha.
Tanpa listrik, konsep organik di peternakan Dina yang membutuhkan pemantauan terus menerus menjadi tantangan besar. Tidak jarang, Dina harus menempuh jarak jauh hanya untuk memeriksa kondisi ayam-ayamnya di tengah malam, atau menyalakan generator usang yang kerap kali lebih merepotkan daripada membantu.
Namun, lima tahun silam menjadi titik balik untuk Dina dan peternakan ayamnya. Perusahaan Listrik Negara (PLN) akhirnya datang membawa 'kunang-kunang' yang ia impikan. Setelah bertahun-tahun menunggu, Dina mendapat fasilitas aliran listrik yang memadai.
Ketika lampu-lampu pertama kali menyala di peternakan seluas dua hektare miliknnya, Dina merasa seakan dunia kembali hidup.
Sebanyak 2.000 ayam harus dijaga kesehatan serta kualitasnya, perlu diawasi untuk menghasilkan telur organik. Sebelum listrik menyala, hampir tiap hari Dina menemukan ayamnya mati karena tidak ada pengawasan yang memadai. Dina berharap, hal itu tidak terjadi lagi dengan "jutaan kunang-kunang yang sudah ajeg menyemburatkan cahayanya".
Dengan pasokan listrik yang stabil dan berkelanjutan, Dina bisa melihat lebih jelas jalan pengembangan bisnis telur ayam organik yang akan ditempuhnya ke depan. Kedipan 'kunang-kunang' sudah makin tampak pijarnya dari kejauhan hutan.
Kolaborasi
Saat ini, dengan pasokan listrik yang cukup, Dina dapat mengoperasikan alat-alat pendukung perawatan kandang, semisal lampu untuk menciptakan suhu hangat yang diperlukan unggas ternaknya.
Selain itu, peternakan yang dulunya harus beradaptasi dengan keterbatasan kini bisa berfungsi dengan efisien. Produksi telur organik meningkat, dan tak lama kemudian pasar mulai tertarik.
Sebelum ada pasokan listrik, produksi telur organik hanya 300 butir per hari, sekarang jumlahnya kian meningkat menjadi 500 butir per hari. Harga telur organik Dina dibandrol Rp72.850/tray (30 butir). Omset harian peternakan Dina saat ini mencapai nilai satu juta rupiah.
Karyawan di peternakan Dina saat ini berjumlah 3 orang. Bersama Dina, mereka dipercaya untuk memastikan operasional peternakan dengan baik, termasuk kesehatan dan keselamatan ternak, kebersihan kandang dan mitigasi bila terjadi penularan penyakit khas unggas.
Telur-telur hasil peternakan Dina tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal kampungnya, tetapi sudah merambah ke pasar yang lebih besar. Dalam beberapa tahun terakhir, peternakan Dina dikenal sebagai salah satu penghasil telur organik berkualitas tinggi di daerah Kabupaten Bogor, tepatnya di kawasan Megamendung dan sekitarnya.
Keberhasilan Dina tidak berhenti di situ. Kemajuan teknologi yang diadopsi menarik perhatian startup lokal yang bergerak di bidang teknologi peternakan, rintisan Powltry.
Kolaborasi Powltry dengan perusahaan pembiayaan, Fazz Capital Finance melihat potensi peternakan organik Dina dapat lebih berkembang dengan dukungan teknologi aplikasi.
Kolaborasi Dina, Powltry dan perusahaan pembiayaan itu menjadikan peternakan Dina kini bisa dipantau dengan peralatan serba modern, seperti alat penjaga kelembapan, kamera pemantau serta digital lainnya yang mampu terolah dalam bacaan data.
Modernisasi peralatan dan teknologi yang telah dilakukan menciptakan sebuah ekosistem bisnis baru. Meski peternakan Dina belum berskala besar, infrastruktur energi pendukung yang sudah lengkap membuat pihak-pihak lain tertarik untuk bermitra.
Peluang baru
Teknologi yang diintegrasikan dalam peternakan organik membuka peluang baru bagi Dina. Bukan hanya sebagai peternak, tapi juga sebagai bagian dari inovasi yang menggabungkan tradisi dan modernitas dalam dunia agrikultur.
Dalam konteks yang sama, PLN juga tengah mendukung adanya upaya perusahaan rintisan mampu membantu ataupun menyokong usaha kecil, dengan PLN sebagai pendukung infrastrukturnya.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo mengatakan dalam inisiatif ini, PLN memberikan dukungan berupa inkubasi, akselerasi, serta kesempatan pilot project kepada startup yang bergerak di sektor energi maupun beyond kWh.
Fokus utama adalah mendorong solusi inovatif yang dapat mengakselerasi transformasi digital dan transisi energi bersih di Indonesia. Kolaborasi ini akan menjadi platform yang menghubungkan PLN dengan para startup lokal dan global, sekaligus menciptakan peluang kolaborasi yang lebih luas.
Dina dan start up Powltry bekerja sama dalam manajemen pengelolaan peternakan untuk mengelola kualitas hingga menemukan pasar yang bagus, melalui aplikasi.
Sebuah rantai ekonomi panjang terjadi usai energi berkelanjutan mampu menyentuh peternakan. Bisnis peternakan konvensional telah berkembang modern dengan banyaknya konsep rintisan setelah lampu peternakan “kunang-kunang” Dina mampu menyala terang bagi kualitas ayamnya.
Kisah Dina ini adalah potret kecil peternak yang gigih berjuang di tengah keterbatasan, menghadirkan perubahan melalui keberanian untuk berinovasi.
Di era yang serba modern ini, akses terhadap infrastruktur dasar seperti listrik bukan hanya kebutuhan, tapi juga jembatan menuju kesuksesan yang lebih besar.
Baca juga: PLN gelar kompetisi "Light Your Green Action" jaring inovasi hijau
Baca juga: PLN EPI raih juara kedua inovasi pengembangan bisnis di LIKE 2024
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2024