Kupang (ANTARA) - Antonius Amuntoda (46), tampak gelisah. Raut wajahnya terlihat memerah, seakan ingin meluapkan amarahnya saat menyambangi Kantor ANTARA Biro Nusa Tenggara Timur (NTT) di jalan Veteran Kelapa Lima Kupang siang itu.
"Saya punya isteri dan anak-anak. Saya tidak mungkin mengkhianati karier saya sebagai ASN dalam urusan Pilkada yang hanya berlangsung lima tahun sekali ini. Apalagi saya masih terlalu muda," ungkap Antonius Amuntoda memulai perbincangan sambil menunjukkan surat panggilan kedua dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Flores Timur.
Dalam surat yang ditandatangani Ketua Bawaslu Flores Timur Ernesta Katana, ia diundang untuk memberikan klarifikasi terkait dugaan pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sebelumnya ia telah menerima surat panggilan pertama dengan surat bernomor: 406/PP 00.02/19.05/X/2024 untuk memberikan klarifikasi di hadapan Tim Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Kabupaten Flores Timur.
Antonius Amuntoda dipanggil untuk memberikan klarifikasi soal keberadaannya bersama salah satu calon Wakil Gubernur NTT di Pelabuhan Pelelangan Ikan (PPI) Amagarapati yang menjadi Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT untuk wilayah Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Sikka.
Amuntoda adalah ASN pada Pemprov NTT yang kini menjabat sebagai Kepala Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT untuk wilayah Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Sikka yang berkantor di PPI Amagarapati di Larantuka, Flores Timur.
"Pelabuhan Pendaratan Ikan Amagarapati adalah wilayah yang menjadi otoritas saya dan saya tidak dapat meninggalkan tempat ini, hanya karena ada calon kepala daerah yang berkunjung ke PPI," katanya.
Ia mengakui bahwa salah satu calon Wakil Gubernur NTT mendatangi ruangan kerjanya dan bertanya tentang hasil produksi ikan di wilayah itu kemudian meninggalkan kantornya.
"Saya anggap semua yang datang ke kantor adalah nelayan dan kami harus menerima dan melayani. Tidak ada kegiatan apapun yang berhubungan dengan kampanye," kata Amuntoda menjelaskan.
Namun ia mengaku pasrah dan siap untuk memberikan keterangan kepada Tim Sentra Gakumdu terkait aktifitas yang dilakukan salah satu calon wakil gubernur di sekitar pelabuhan.
Sesuatu yang paradoksal
Sorotan terhadap posisi para abdi negara ini, memang bukan hal yang baru terjadi dalam proses pelaksanaan Pilkada serentak 2024 ini, tetapi pada setiap momentum pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan di negeri ini.
Para aparatur sipil negara ini dinilai memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar dalam memberikan stimulus suara pada setiap pasangan calon kepala daerah yang didukung, bahkan mempengaruhi hasil pemilu.
Namun menurut pengamat politik yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Raja Muda Bataona, sorotan terhadap ASN adalah sesuatu yang paradoksal.
"Menurut saya, netralitas ASN itu sesuatu yang paradoksal karena di satu sisi para ASN juga warga negara yang memiliki hak pilih tetapi mereka diwajibkan harus netral saat kampanye politik dan proses politik. Ini tentu rumit," kata Mikhael Bataona.
Padahal, faktanya mereka juga memiliki preferensi politik yang dengan setengah mati harus dipendam hanya dalam hati dan pikiran, lalu berlaku seolah-olah netral di dunia nyata dan di media sosial.
Menurut Bataona, yang perlu diawasi itu bukan hanya para ASN yang berada dalam posisi sebagai "bawahan", tetapi para pemimpin birokrasi, terutama para penjabat kepala daerah.
Man behind the gun
Para pemimpin birokrasi memang memiliki posisi powerful untuk menggerakkan mesin birokrasi.
Mereka bisa menjadi the man behind the gun untuk kepentingan politik tertentu dengan menggunakan tangan-tangan ASN yang menjadi bawahan mereka.
Dalam sistem kerja dengan model patron klien seperti di birokrasi, hal ini rentan terjadi.
Oleh karena itu, yang paling mendesak dan penting saat ini adalah mendesak para penjabat kepala daerah untuk netral.
Masalah netralitas seorang penjabat daerah ataupun pejabat negara dalam politik praktis adalah tuntutan moral dan etis yang levelnya lebih tinggi dari sekedar tuntutan pekerjaan biasa. Artinya, posisi tuntutan ini lebih tinggi sehingga membutuhkan semacam kesadaran moral untuk menjalankannya dengan kesungguhan hati.
Sebab, setiap penjabat negara disumpah untuk menjalankan semua peraturan perundang-undangan secara sungguh-sungguh, termasuk bersikap netral dalam politik.
Meskipun pejabat negara memiliki hak politik untuk memilih tetapi dia dilarang keras untuk berpolitik praktis karena pejabat negara memiliki kekuasaan dan seluruh sumber daya untuk mempengaruhi hasil Pemilu.
Dalam konteks ini maka untuk menjaga netralitas pejabat dalam pemilihan gubernur maupun dan pilkada kali ini, pihak penyelenggara perlu memiliki aturan-aturan ketat dan jelas, juga keberanian untuk menindak.
Pengawasan publik
Pengawasan adalah faktor penting dalam menjaga netralitas ASN ini. Pengawasan bisa dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), maupun publik.
Pengawasan publik merupakan satu hal penting untuk menjaga netralitas ASN. Pengawasan ini dilakukan terhadap para pejabat daerah dan aparaturnya, juga pengawasan terhadap aparat negara seperti TNI dan Polri, termasuk penyelenggara Pemilu seperti Bawaslu dan KPU hingga ke KPPS.
Pengawasan publik ini penting untuk memastikan integritas dan profesionalisme ASN. Semuanya harus diawasi oleh publik. Dalam hal ini tentu saja butuh kecerdasan dan keberanian warga atau publik untuk melakukan pengawasan.
Dengan daya kritis warga yang disuarakan di ruang-ruang publik, terutama media sosial, praktek-praktek yang menyimpang dari para penjabat daerah, juga kerja-kerja politik mereka melalui para ASN bisa diminimalisir dan dihilangkan.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas pemilu dan mutu demokrasi di negeri tercinta ini yang menjadi cita-cita luhur seluruh anak bangsa.
Editor: Sri Haryati
Copyright © ANTARA 2024