Tanjung Selor (ANTARA) - Musim Semi Arab (Arab Spring) telah bergulir sekitar 14 tahun silam, sebagian negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara mampu melewati fase itu dengan aman, namun beberapa masih menghadapi kekacauan sosial, politik, dan keamanan, sebut saja Suriah, Libia, dan Yaman

Kondisi Suriah dan Yaman kini masih kacau, begitu pula Libia. Padahal, dulu, Libia adalah salah satu negara paling makmur di Afrika, kini hancur dan sejak 2014, pemerintahan Libia terpecah menjadi dua, satu di sisi timur serta satu lagi di sisi barat negara itu.

Aksi kekerasan masih sering terjadi akibat dua pemerintahan itu memiliki basis dukungan dan para milisi saling serang, karena mengklaim diri sebagai pemerintah yang sah. Beberapa negara terdampak peristiwa itu yang berujung pada perang saudara tak berkesudahan.

Kondisi itu kian parah karena kebangkitan gerakan radikal terorisme, yakni kelompok militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mendeklarasikan kekhalifahan di Suriah pada 2014.

Pertanyaan mengapa Arab Spring dan paham kekerasan radikal terorisme begitu cepat menggelinding dan membesar seperti bola salju? jawaban sederhana, salah satu faktor penyebab karena kala itu multimedia berkembang pesat pada 2010-an.

Virus radikal terorisme menyebar dengan cepat, melintasi negara dan menginfeksi tanpa pandang bulu, baik ras, jenis kelamin, maupun usia.

Penyebaran virus radikal terorisme tidak hanya di Timur Tengah dan Afrika Utara, namun juga ke negara lain, termasuk Indonesia.​​​​​​​


Perkembangan Indonesia

Upaya berbagai pihak dalam menangani ancaman radikal terorisme, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dalam beberapa tahun terakhir membuahkan hasil.

Data BNPT menunjukkan bahwa selama 2023 tercatat zero terrorist attack atau tidak ada serangan teroris terbuka pada tahun itu di Indonesia. Ini sebuah prestasi dan membuka mata dunia bahwa Indonesia bersatu padu bisa menekan kasus terorisme.

Tentu ini keberhasilan semua pihak, seperti strategi Pentahelix oleh BNPT, yakni sebuah kolaborasi guna menekan potensi radikal terorisme yang melibatkan akademisi, dunia usaha, kelompok masyarakat, pemerintah, dan media massa.

Meskipun demikian, keberhasilan itu jangan sampai membuat kita lengah karena penyebaran virus radikal terorisme tetap berjalan, terbukti jumlah kasus penangkapan anggota terorisme masih terus terjadi.

Upaya agar bangsa Indonesia tetap waspada, meski tidak ada serangan terbuka oleh teroris pada 2023, juga terungkap dalam Gerakan Muda Bangga Bernegara dan Beragama (Gembira Beragama) di Tarakan, Kalimantan Utara, 29 Oktober 2024, yang digelar oleh BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Utara.

FKPT Kaltara mencatat sepanjang 2023 dan 2024 masih banyak kasus penangkapan teroris, yang berarti sel-sel dari organisasi itu masih ada.

Densus 88 Antiteror Polri juga telah menangkap tiga orang terduga teroris kelompok Anshor Daulah wilayah Jawa Tengah (Jateng) pada Senin (4/11/2024).

Polisi menyebut, ketiganya merupakan anggota kelompok Anshor Daulah wilayah Jawa Tengah, yakni BI, ST, dan SQ yang ditangkap di tiga lokasi berbeda. Tersangka BI ditangkap di Kabupaten Kudus, ST di Kabupaten Demak, dan SQ dibekuk di Kabupaten Karanganyar, semuanya di Jawa Tengah.

Mereka diketahui memiliki rencana melakukan aksi teror serta menyebarkan narasi provokasi dan propaganda di media sosial.

Penangkapan tersangka teroris itu bisa jadi merupakan "fenomena gunung es", sehingga bangsa kita harus waspada. Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan indikasi tren peningkatan konsolidasi dan proses radikalisasi.

Tren itu dapat dibaca dengan tiga indikator. Pertama, penguatan sel-sel terorisme yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah pelaku yang ditangkap serta jumlah penyitaan senjata, amunisi, dan bahan peledak dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Kedua, terjadi peningkatan pengumpulan dana oleh kelompok itu, dengan menggunakan berbagai cara dan memanfaatkan berbagai momentum.

Ketiga, terjadi peningkatan proses radikalisasi, dengan sasaran pada tiga kelompok rentan, yakni perempuan, anak-anak, serta remaja.​​​​​​​


Ketangguhan Indonesia

Di tengah kekhawatiran terus menyebarnya radikal terorisme di era dunia tanpa sekat yang didukung oleh kemajuan teknologi digital itu, khusus di Indonesia, hakikatnya memiliki beberapa potensi ketahanan atau ketangguhan menghadapi ancaman virus paham kekerasan itu.

Jika melihat kegagalan negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara, maka salah satu faktor kelemahan di sana adalah tidak ada konsensus nasional yang bisa saling menguatkan.

Sementara Indonesia memiliki potensi kekuatan menghadapi ancaman virus radikal terorisme, yakni konsensus nasional dan kearifan lokal yang masih dipegang teguh masyarakat kita.

Di satu sisi, sesungguhnya Indonesia memiliki potensi perpecahan lebih besar dengan beranekaragamnya suku, ras, budaya, dan agama. Berkat adanya konsensus nasional, ancaman disintegrasi bangsa bisa dicegah.

Lihat saja, paling tidak ada beberapa tonggak sejarah mencatat tentang konsensus nasional yang membawa pengaruh besar bagi masa depan dalam menjaga dan merawat integritas bangsa.

Pertama, adalah konsensus nasional berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu, pada 28 Oktober 1928 melalui Sumpah Pemuda.

Bahkan, berkat konsensus tersebut, Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi Unesco (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) ke-10 pada Senin (20/11/2023) di Markas Besar UNESCO di Paris, Prancis.

Konsensus kedua, pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, yakni bangsa Indonesia sepakat menghilangkan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila pada Piagam Jakarta. Tujuh kata yang sepakat dihilangkan tersebut adalah "... dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Konsensus ketiga, yakni mengakomodasi kepentingan kekuasaan Orde Baru. Konsensus ini muncul dari hasil Seminar Angkatan Darat II tahun 1966, yang melibatkan peserta dari kalangan akademisi, aktivis, dan militer yang merupakan pendukung setia Orde Baru, sehingga kemudian Pancasila menjadi azas tunggal.

Selain Pancasila, konsensus nasional Indonesia juga menjadikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Eka sebagai pilar bangsa ini.

Selain konsensus nasional, ketangguhan bangsa Indonesia menjaga integrasi, termasuk melawan virus radikal terorisme, adalah adanya kearifan lokal.

Dengan bekal kearifan lokal, bangsa kita memiliki sifat fleksibel dan mampu beradaptasi dengan perubahan, tanpa menghilangkan identitas bangsa.

Setiap etnis di Indonesia mengenal warisan budaya yang mengandung nilai-nilai luhur yang disebut sebagai kearifan lokal, misalnya di Bulungan (Kalimantan Utara) ada istilah tenguyun (gotong royong), timbeng rasa (toleransi), dan belah bulu (menghormati tamu) yang bisa menjadi cara efektif melawan virus intoleran, radikalisme, dan terorisme.

Bangsa Indonesia punya potensi melawan secara efektif virus intoleransi, radikalisme dan terorisme, dengan terus komitmen untuk menjaga konsensus nasional serta konsisten memelihara kearifan lokal.

Copyright © ANTARA 2024