Kota Bengkulu (ANTARA) - Pemilihan umum (Pemilu) dan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali merupakan momentum istimewa dalam demokrasi Indonesia.

Ajang ini menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang dapat mengubah dan memajukan daerah mereka.

Di Provinsi Bengkulu, euforia pemilihan umum terasa begitu kental, mulai dari antusiasme dalam mengikuti kampanye hingga kehadiran warga di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Namun, di tengah semangat demokrasi tersebut, muncul persoalan klasik yang terus menjadi tantangan, yaitu politik uang.

Praktik ini tak hanya melanggar etika demokrasi, tetapi juga mengancam kredibilitas hasil pemilihan yang seharusnya berlandaskan aspirasi murni rakyat.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bengkulu Zul Effendi mengatakan jika aksi politik uang tidak sesuai dengan acara agama Islam sebab, perilaku curang, termasuk sogok-menyogok dianggap sebagai dosa besar dalam ajaran agama Islam.

Untuk itu, ia mengingatkan kepada masyarakat bahwa perbuatan tersebut dapat membawa akibat buruk di dunia dan akhirat.

Seiring dengan dampak dunia dan akhirat tersebut, ia mengimbau masyarakat Kota Bengkulu untuk menjaga keamanan dan ketertiban guna mewujudkan pemilihan umum damai.

"Banyaknya hal dipertanggungjawabkan tersebut membuat setiap tindakan terutama terkait pesta demokrasi harus diperhitungkan matang-matang jangan sampai merugikan tetapi membawa maslahat," kata dia.

Maka dari itu, ia mengingatkan pentingnya masyarakat yang memiliki hak suara untuk dapat menggunakan hak suara dalam pemilihan umum dengan tidak golput sebagai bentuk tanggung jawab beragama dalam memilih pemimpin.

Kemudian, ia mengimbau partai politik, tim sukses, relawan, peserta dan pelaksana pemilihan umum untuk tidak menggunakan politik uang, kampanye hitam, kecurangan, penipuan, fitnah, hoaks atau berita tidak benar dan ujaran kebencian karena perbuatan tersebut diharamkan dalam agama.

Menjadi tanggung jawab juga, lanjut dia, bagi partai politik, tim sukses, relawan, peserta dan pelaksana pemilu untuk memberikan pendidikan politik yang benar agar pemilihan umum berkualitas dan bermartabat, termasuk menghindari politik uang.

Ancaman Demokrasi Sejati

Fahruri, pengamat politik sekaligus akademisi dari Universitas Dehasen Bengkulu, menyoroti fenomena politik uang sebagai “budaya” yang telah mengakar dalam setiap pemilu di Bengkulu.

Fenomena ini bukan sekadar isu moral, melainkan ancaman nyata bagi prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan dan kejujuran.

"Namun karena ada politik uang, kita terkadang memilih bukan karena (kualitas dan kompetensi) figur, tetapi karena uang atau barang (yang ditawarkannya)," ujarnya.

Dalam banyak kasus, politik uang tidak hanya berbentuk uang tunai, tetapi juga dalam bentuk barang seperti sembako yang diberikan kepada masyarakat agar memilih kandidat tertentu.

Politik uang menciptakan ketimpangan dalam kompetisi pemilu, sebab kandidat dengan dana melimpah memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan suara dengan cara ini, sementara kandidat dengan ide atau program kerja yang kuat namun tanpa dana besar akan sulit bersaing.

Hal ini, menurut Fahruri, merusak makna pemilu sebagai wadah pencarian pemimpin terbaik yang memiliki visi untuk memajukan daerah.

Fahruri mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan politik uang terus terjadi di setiap pemilu, terutama di Kota Bengkulu. Salah satu faktor utama adalah kondisi ekonomi masyarakat.

Sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah masih rentan terhadap tawaran insentif, yang kemudian menjadi faktor yang memengaruhi keputusan memilih.

Saat kampanye berlangsung, masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi lebih mudah tergoda oleh iming-iming materi daripada mempertimbangkan visi dan misi kandidat.

Selain faktor ekonomi, kurangnya pendidikan politik juga berkontribusi besar dalam masalah ini. Banyak pemilih pemula atau masyarakat umum yang belum memahami pentingnya memilih berdasarkan program kerja dan visi kandidat, bukan semata-mata karena pemberian materi.

Akibatnya, politik uang yang awalnya hanya terjadi dalam bentuk kecil kini semakin meluas dan dianggap wajar.

"Politik uang ini sulit untuk dibuktikan, sama dengan halnya korupsi yang tercium tapi tidak terlihat. Analogi sederhananya seperti orang buang angin, berbau tapi tidak terlihat," kata Fahruri.

Dampak politik uang

Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Indonesia, berdasarkan rilis hasil survei yang disampaikan baru-baru ini menyatakan terdapat 35 persen responden yang menentukan pilihannya karena uang pada Pemilu 2024 dan meningkat dari dari tahun 2019 yang sebesar 28 persen.

Indikator Indonesia melakukan survei seusai pencoblosan Pileg/ Pilpres pada 14 Februari di 3 ribu TPS. Dengan jumlah responden sebanyak 2.975 menunjukkan pemilih yang menolak politik uang menurun.

Pada Pemilu 2024 didapati prosentase 8 persen yang menolak politik uang, sedangkan pada 2019 sebesar 9,8 persen.

Sementara itu, Berdasarkan data dari Bawaslu Kota Bengkulu, pada Pemilu 2024 terdapat 38 laporan ataupun temuan adanya tindakan politik uang.

Laporan dan temuan itu terdiri dari 31 kasus yang dijadikan pelanggaran administrasi. Kemudian, dua kasus ditetapkan sebagai pelanggaran etik dan lima ditetapkan sebagai sebagai tindak pidana, namun untuk lima kasus pidana tersebut dihentikan karena kurangnya cukup bukti.

Penindakan Politik Uang

Ahmad Maskuri, Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Kota Bengkulu, mengungkapkan bahwa setiap bentuk pelanggaran akan diproses sesuai tingkatannya.

"Sanksi politik uang dibagi dalam tiga tahap, mulai dari pelanggaran administrasi hingga tindak pidana, yang selanjutnya direkomendasikan ke KPU atau pihak terkait," kata Ahmad.

Kasus politik uang telah terjadi di beberapa wilayah, termasuk kasus Paris Balinono, anggota DPRD Pasangkayu, yang divonis tiga bulan penjara dan didenda Rp200 juta.

Ia terbukti membagi amplop Rp50 ribu kepada 300 orang dalam kampanye. Tindakan ini menegaskan betapa seriusnya ancaman politik uang terhadap integritas pemilu

Masyarakat sebagai Pengawas Aktif

Bawaslu Bengkulu juga mengimbau masyarakat untuk turut aktif melaporkan indikasi politik uang melalui posko pengaduan yang tersebar di setiap kecamatan.

"Posko pengaduan kita buka untuk mengumpulkan laporan pelanggaran dari masyarakat," kata Ahmad.

Selain itu, tim patroli khusus dari Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan melakukan pengawasan intensif di wilayah yang dianggap rawan.

Literasi Lewat Pendidikan

Pengamat politik Fahruri, menyoroti pentingnya pendidikan politik sebagai solusi jangka panjang untuk memutus rantai politik uang.

"Pemilih harus diberi pemahaman memilih berdasarkan visi, bukan insentif materi," ujarnya.

Sementara itu, calon wali kota, Nuragiyanti Dewi Permatasari, turut menggencarkan kampanye anti-politik uang melalui media sosial, berupaya mendidik pemilih muda agar lebih kritis.

"Anak muda saat ini lebih memilih dengan hati, bukan karena uang," ungkapnya.

KPU Kota Bengkulu juga menggalakkan sosialisasi ke basis-basis pemilih untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memilih secara bijak tanpa terpengaruh insentif.

Bagi calon wali kota Ariyono Gumay, pendidikan politik bagi pemilih pemula dapat mengurangi ketergantungan pada insentif materi.

"Dengan pendidikan politik yang kuat, kita bisa menciptakan pemilu yang lebih bersih, jujur, dan kondusif," tegasnya.

Sementara itu, Bawaslu dan KPU Kota Bengkulu berkomitmen mewujudkan demokrasi yang sehat dengan menumbuhkan pemilih berintegritas.

Demokrasi Sehat Berintegritas

Politik uang harus dilawan dengan semangat pendidikan politik yang lebih kuat.

Edukasi politik bukan hanya tugas pemerintah dan penyelenggara pemilu, tetapi juga seluruh elemen masyarakat.

Keluarga, sekolah, dan komunitas memiliki peran penting dalam membentuk pemahaman politik yang sehat bagi generasi muda.

Dengan demikian, ketika memasuki masa pemilihan, masyarakat akan memilih kandidat yang benar-benar layak memimpin, bukan karena uang atau insentif material lainnya.

Mewujudkan demokrasi yang sehat adalah tanggung jawab bersama. Pendidikan politik adalah kunci untuk membentuk pemilih yang berintegritas dan tidak mudah tergoda oleh politik uang.

Dengan upaya bersama dari pemerintah, penyelenggara pemilu, masyarakat, dan kandidat yang berkomitmen, kita dapat menciptakan pemilu yang jujur, adil, dan membawa manfaat bagi kemajuan daerah.

Baca juga: Menjaga komitmen demi Pilkada damai di Bumi Rafflesia
Baca juga: Menko Polkam sebut Pemerintah sudah memetakan wilayah rawan pilkada

Baliho pasangan calon wali kota Bengkulu yang dipasang oleh KPU Kota Bengkulu. Jumat (8/11/2024) (ANTARA/Anggi Mayasari)

Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2024