Kuta, Bali (ANTARA) - Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyebut kepesertaan jaminan kesehatan nasional (JKN) itu sebagai salah satu syarat saat membuat surat izin mengemudi (SIM) dimaksudkan untuk mengejar 100 persen cakupan perlindungan seluruh populasi di Indonesia.
“Kebijakan itu mengakselerasi (kepesertaan JKN),” katanya di sela-sela Kongres Internasional Dewan Dunia untuk Pengobatan Preventif, Regeneratif, dan Anti-Penuaan (WOCPM) di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Minggu.
Ia memaparkan saat ini kepesertaan BPJS Kesehatan di tanah air sudah mencapai 278 juta penduduk atau 98,42 persen per 1 November 2024 dari total populasi yang mencapai 282,4 juta.
Menurut dia, capaian itu diperoleh dalam kurun waktu 10 tahun, atau lebih cepat dibandingkan Korea Selatan yang butuh waktu 12 tahun untuk mencapai 97,2 persen atau 50,9 juta penduduk.
Kemudian Jepang butuh waktu 36 tahun untuk mencapai 100 persen penduduk terlindungi JKN atau 126,7 juta penduduk, Belgia butuh waktu 118 tahun untuk melindungi 11,4 juta penduduknya dalam JKN dan Jerman butuh waktu 127 tahun untuk melindungi 80,6 juta penduduknya dalam JKN atau mencapai 85 persen.
“Begitu juga Amerika Serikat sebanyak 30 juta lebih penduduknya belum punya asuransi kesehatan. Kalau Indonesia sekitar tiga juta,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, capaian itu dilakukan melalui program petakan, sisi, advokasi dan registrasi (pesiar) hingga pelosok desa.
Sebelumnya, ada tujuh provinsi di Indonesia yang menjalani masa uji coba kebijakan pembuatan SIM dengan syarat sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan pada 1 Juli hingga 30 September 2024, yakni Bali, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur.
Setelah uji coba di tujuh wilayah itu, kemudian diperluas secara nasional mulai 1 November 2024.
Pemerintah, BPJS Kesehatan, dan pihak terkait lainnya masih akan melakukan evaluasi dari uji coba nasional itu sebelum diberlakukan secara penuh.
Ada pun kebijakan BPJS Kesehatan yang masuk syarat pembuatan SIM tercantum dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022.
Sementara itu, realisasi pembiayaan pada 2023 mencapai Rp158,9 triliun, meningkat dibandingkan 2022 mencapai Rp113,4 triliun dan dalam satu dekade mencapai Rp912,4 triliun.
Dari realisasi pada 2023 itu, sebesar Rp34,7 triliun di antaranya dikeluarkan untuk membiayai penyakit katastrofe atau penyakit berbiaya besar dan jangka waktu yang panjang di antaranya sirosis hati, jantung, gagal ginjal, kanker, leukimia, stroke, hingga talasemia dengan jumlah kasus mencapai 29,7 juta kasus.
Paling besar adalah kasus penyakit jantung mencapai 20 juta kasus dengan realisasi biaya mencapai Rp17,6 triliun.
BPJS Kesehatan menggenjot penerapan skrining kesehatan yang salah satunya dapat diakses melalui aplikasi JKN Mobile untuk mendeteksi dini penyakit berat itu yang diharapkan dapat menekan realisasi biaya penyakit katastrofe.
Pada 2023 sebanyak 39,7 juta peserta yang memiliki aplikasi JKN mobile melakukan skrining dan hingga Juli 2024 sudah ada 34 juta yang melakukan skrining.
Jika terindikasi memiliki penyakit tertentu maka peserta diarahkan untuk berkonsultasi klinik, puskesmas atau dokter mandiri yang menjadi fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).
Baca juga: BPJS Kesehatan gandeng KSH tingkatkan pemahaman JKN bagi masyarakat
Baca juga: Syarat baru bikin SIM mulai 1 November, wajib terdaftar di JKN
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024