Jakarta (ANTARA) - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rachmat Pambudy menyatakan Presiden Prabowo Subianto sangat perhatian terhadap kebutuhan yang bersifat mendasar untuk masyarakat Indonesia.

“Presiden Prabowo ini sangat perhatian pada hal-hal yang sifatnya mendasar untuk rakyat kita. Apa yang hal mendasar? Masalah kemiskinan, masalah pengangguran, masalah lapar dan kelaparan,” ucapnya dalam Peluncuran Buku Tabel Morbiditas Penduduk Indonesia dan Seminar Capaian Cakupan Kesehatan Semesta di Gedung Bappenas, Jakarta, Senin.

Berkaitan dengan hal itu, ia menyampaikan fakta bahwa angka kemiskinan dan angka kecukupan gizi (AKG) di Indonesia sangat kontradiktif.

Baca juga: Menteri PPN sebut telah siapkan kedeputian bidang transformasi digital

Apabila rakyat tidak miskin, maka seharusnya AKG juga bagus. Namun, AKG di Indonesia yang masuk kategori kurang gizi sebanyak lebih dari 180 juta jiwa walaupun tak tergolong kelompok miskin.

Jika angka-angka tersebut dijadikan acuan, lanjutnya, maka kondisi kesehatan di Tanah Air perlu dicek ulang. “Orang yang tidak cukup gizinya, maka kesehatannya juga perlu diperiksa kembali,” ujar Rachmat.

Menteri PPN juga menerangkan tentang kasus tuberkulosis di Indonesia yang berada pada urutan kedua di dunia dengan estimasi 969 ribu kasus per Juli 2023, hingga data yang menyebutkan setiap tahun lahir 50 ribu kelahiran bayi cacat.

“Kalau 50 ribu bayi cacat, bagaimana masuk ke dalam kategori BPJS (Kesehatan)?,” kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Rachmat mengatakan implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari BPJS Kesehatan harus tercermin dalam praktik di lapangan, bukan hanya pada angka.

Baca juga: Kepala Bappenas: Program JKN harus tercermin dalam praktik

Dia memberikan contoh terkait pelayanan BPJS Kesehatan mengenai program JKN dari temannya yang berprofesi sebagai dosen. Pelayanan yang diberikan kepada dosen itu disebut baik, memperoleh kemudahan dalam administrasi karena hanya perlu menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan tak perlu membayar biaya kesehatan.

Di sisi lain, apabila peserta JKN itu kelas pembantu rumah tangga atau satuan pengamanan (satpam), maka dia harus membayar biaya kesehatan dengan jumlah tertentu.

Setelah memperoleh penjelasan dari Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti, bahwa jumlah peserta JKN telah mencapai 276,52 juta jiwa atau 98,19 persen dari total seluruh penduduk Indonesia, dia memberikan fokus terhadap sekitar 50 juta peserta yang tidak aktif membayar iuran BPJS Kesehatan.

Peserta tak aktif ini berarti pernah membayar, tetapi tiba-tiba karena alasan-alasan tertentu, mereka harus berhenti mengeluarkan dana untuk iuran jaminan kesehatan.

Menurut Rachmat, salah satu cara menangani persoalan ketidakaktifan peserta dalam program JKN ialah memanfaatkan big data yang dimiliki BPJS Kesehatan.

“Tadi saya dapat penjelasan, BPJS punya big data, punya data time series. BPJS juga mengaplikasikan kecerdasan buatan. Saya sengaja minta ikut dalam seminar ini, paling tidak hadir staf yang punya keahlian di bidang kecerdasan buatan. Saya sengaja minta Ibu Sesmen (Sekretaris Kementerian PPN/Bappenas Teni Widuriyanti) untuk menambah satu kedeputian yang mengurus transformasi digital. Saya akan pertama-tama menerapkan untuk BPJS. Kalau BPJS benar-benar bagus, saya akan laporkan langsung kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto. Tapi kalau jelek, bapak tanggung sendiri akibatnya,” ungkap Kepala Bappenas.

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2024