Indonesia perlu menunjukkan komitmen yang lebih serius dan aksi yang nyata untuk mencapai target Persetujuan Paris
Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik rencana pembangunan 75 Gigawatt (GW) pembangkit energi terbarukan oleh PT PLN sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk mencapai target dekarbonisasi 2060.
Namun, IESR juga mengingatkan bahwa rencana tersebut belum sepenuhnya selaras dengan target Persetujuan Paris dalam menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C yang menuntut transisi energi terbarukan yang lebih agresif.
“Indonesia perlu menunjukkan komitmen yang lebih serius dan aksi yang nyata untuk mencapai target Persetujuan Paris,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Di perhelatan Konferensi Perubahan Iklim PBB atau Conference of the Parties (COP) ke-29, di Baku, Azerbaijan (12/11), Indonesia telah menyepakati keputusan COP untuk mencapai target pembatasan laju kenaikan temperatur dengan meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat (triple up) dan menggandakan upaya efisiensi energi (double down) pada 2030.
IESR menilai persetujuan ini harusnya dituangkan dalam target dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Untuk itu, menurutnya, setiap rencana pembangunan energi terbarukan harus disertai dengan strategi mengurangi bertahap (phase-down) dan penghapusan bertahap (phase-out) PLTU batubara paling lambat 2045 untuk selaras dengan target pembatasan kenaikan temperatur 1,5 C.
IESR menilai kombinasi langkah ini akan krusial dalam mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dan dekarbonisasi sektor kelistrikan di 2050.
“Selama ini, implementasi dari rencana pembangunan energi terbarukan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Walaupun rencana besar sering kali diumumkan, IESR mencatat bahwa implementasinya masih jauh dari target yang dicanangkan. Ini terlihat dari kegagalan Indonesia mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025,” kata Fabby.
Fabby mendesak agar pemerintah tidak hanya menyampaikan target fantastis di forum internasional, tetapi juga memastikan implementasi serta upaya konkret dalam menyingkirkan berbagai hambatan dan tantangan. Dengan demikian, target yang ditetapkan dapat benar-benar tercapai dan bukan sekadar wacana.
Tidak hanya itu, pihaknya juga mendorong Indonesia untuk fokus mengembangkan energi terbarukan dengan pilihan biaya yang paling murah dan dengan keandalan pasokan yang optimal dan teknologi yang handal.
Sementara, Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengungkapkan rencana pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi nuklir harus memperhatikan kesiapan institusi, kesiapan dan kehandalan teknologi dan biaya investasi, biaya sosial serta risiko lainnya.
“Berdasarkan perhitungan IESR, dengan elektrifikasi yang masif dan akselerasi energi terbarukan yang lebih cepat dibangun, murah, dan rendah resiko keterlambatan, Indonesia bisa membangun 120 GW energi terbarukan hingga 2030 mengandalkan surya dan angin. Kapasitas tersebut dapat membawa bauran energi terbarukan mencapai lebih dari sepertiga bauran ketenagalistrikan Indonesia, mencapai puncak emisi sebelum 2030, dan memudahkan mencapai nol emisi sektor ketenagalistrikan dengan 100 persen energi terbarukan pada 2045, ” jelas Deon.
Adapun IESR mendorong agar pemerintah, khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang memiliki pengaruh dalam sektor strategis untuk menyusun strategi transisi energi yang lebih komprehensif.
Strategi ini tidak hanya sekadar menyampaikan target besar, tetapi juga mencakup reformasi kebijakan dan kelembagaan untuk memastikan bahwa PLN dan pihak terkait mampu memenuhi target energi terbarukan yang telah ditetapkan.
Dalam hal pendanaan, investasi sebesar 235 miliar dolar AS harus dikelola dengan baik untuk mempercepat transisi energi yang adil dan berkelanjutan. IESR juga mendorong agar sumber pendanaan ini diarahkan pada proyek-proyek energi terbarukan yang jelas dan berpotensi memberikan dampak nyata dalam mengurangi emisi karbon di Indonesia.
Sebagai informasi, Pemerintah Indonesia berencana membangun 100 Gigawatt (GW) pembangkit listrik dengan 75 persen kapasitas dari energi terbarukan hingga 2040, yang membutuhkan investasi mencapai 235 miliar dolar AS atau Rp3.710 triliun (kurs Rp15.790,62). Rencana ini disampaikan Ketua Delegasi RI untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB/Conference of the Parties (COP) ke-29, Hashim S Djojohadikusumo di Baku, Azerbaijan (12/11).
Baca juga: IPP swasta nasional bidik pengembangan EBT 82 MW
Baca juga: PLN optimalkan pembangkit EBT lewat Nusantara Control Center
Baca juga: PLN rancang RUPTL 75 persen pembangkit listrik EBT dan 25 persen gas
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024