Ambon (ANTARA News) - Atraksi adat "Pukul Sapu" di Negeri Mamala dan Morela Kecamatan Leihitu Pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, memukau ribuan penonton yang memadati kedua desa tersebut, Senin (4/8) petang.

Antara Ambon, melaporkan, puluhan ribu warga dari Kota dan Pulau Ambon, Masohi ibu kota Kabupaten Maluku Tengah, serta Pulau Haruku, Saparua dan Piru serta Kairatu, Kabupaten Seram Bagian barat (SBB), telah membanjiri dua desa bertetangga tersebut sejak pagi untuk menyaksikan ritual tahunan yang digelar setiap 7 Syawal atau sepekan setelah umat Muslim merayakan Idul Fitri.

Puluhan wisatawan dari sejumlah negara yang kebetulan sedang berkunjung ke Maluku, di antaranya warga Maluku yang bermukim di Belanda, Australia dan Amerika juga terlihat telah mendatangi kedua desa yang terletak sekitar 55 kilometer sebelah utara Pulau Ambon sejak pagi. Mereka berbaur bersama ribuan warga, sambil menunggu waktu menyaksikan atraksi "baku pukul" (saling pukul) menggunakan batang lidi tersebut.

Kebanyakan warga datang menggunakan sepeda motor dan mobil membuat ruas jalan di kedua negeri adat tersebut dipadati kendaraan, dan menimbulkan kemacetan serta antrean yang terlihat memanjang hingga lebih dari satu kilometer.

Budaya adat pukul sapu di kedua desa yang memiliki hubungan darah dari satu leluhur dan telah dilakukan sejak abad 16 tersebut, turut menyedot perhatian sejumlah wisatawan nusantara yang secara kebetulan sedang berkunjung ke Ambon.

Atraksi saling pukul menggunakan batang lidi dari tulang daun pohon enau (arenga pinnata) atau di Maluku disebut pohon mayang", memang merupakan salah satu agenda budaya di Pulau Ambon dan terkenal di Maluku serta menyedot perhatian warga untuk menyaksikannya setiap tahun.

Di Desa Morella misalnya, walaupun telah dibuat stadion mini seluas 2.600 meter persegi, tetapi tidak mampu menampung ribuan warga yang datang untuk menyaksikan atraksi yang membuat merinding bulu roma tersebut, sehingga kebanyakan warga akhirnya masuk hingga ke tengah arena.

Atraksi baku pukul manyapu dilakoni dua kelompok pemuda berbadan tanggung dan bertelanjang dada. Masing-masing kelompok dibatasi 10-15 orang dan hanya dibedakan warna celana merah dan kuning serta penutup atau ikat kepala.

Sebelum atraksi dilakukan para pemuda yang akan mengikutinya telah dikumpulkan dalam rumah adat masing-masing untuk dilakukan upacara adat, berdoa minta pertolongan dan restu sang pencipta serta para leluhur agar para pemainnya diberkati.

Atraksi dibuka Gubernur Maluku Said Assagaff yang didaulat bersama Kapolda Maluku Brigjen Pol Murad Ismail, Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal dan sejumlah pejabat Pemprov Maluku dan pimpinan TNI/Polri untuk melakukan pemukulan pertama terhadap beberapa pemain, sebagai tanda dimulainya atraksi budaya tersebut.

Dengan memegang dua ikat lidi, kedua regu kemudian saling berhadap-hadapan, sambil menunggu bunyi peluit ditiup pimpinan adat. Saat seruling berbunyi kelompok bercelana merah lebih dulu memukul kelompok bercelana kuning.

Begitu pun sebaliknya saat seruling dibunyikan, giliran kelompok bercelana kuning yang menyerang dan memukul kelompok bercelana merah dengan batang lidi yang panjangnya 1,5 hingga dua meter dan diameter pangkalnya mencapai 1-3 centimeter.

Masing-masing pemuda dengan menggunakan dua hingga tiga ikat batang lidi berukuran lebih besar dua kali lipat dari sapu lidi biasa, memukul berkali-kali badan lawannya dengan sekuat tenaga. Area pukulan dibatasi dari pinggang, perut, dada dan punggung saja.

Sabetan seikat lidi yang mengenai badan lawan mengeluarkan bunyi cukup keras menyerupai lecutan cambuk. Dalam sekecap tiga ikat batang lidi yang digunakan sudah hancur hanya pada tiga atau empat kali sabetan.

Pukulan lidi berkali-kali menyebabkan guratan merah memanjang sekujur tubuh para pemain, dan kebanyakan mengeluarkan darah segar. Terkadang potongan batang lidi turut tertancap pada kulit dan luka di tubuh mereka.

Namun, tidak sedikit terdengar jeritan atau erangan kesakitan para pemain akibat sabetan lidi. Wajah mereka selalu memperlihatkan ekspresi gembira. Bahkan mereka ketagihan untuk dipukul berulang kali.

Tidak jarang warga yang berada terlalu dekat di arena juga terkena cambukan batang lidi para pemain sehingga harus meringis kesakitan. Para penonton terlihat ngeri dan tak jarang berteriak histeris menyaksikan aksi "baku pukul" itu.

Beberapa pemuda seusai mengikuti tradisi adat tersebut mengaku tidak merasakan sakit pada sekujur tubuhnya yang memar, terluka dan mengeluarkan darah segar akibat sabetan lidi tersebut. "Sabetannya hanya menimbulkan rasa gatal-gatal sehingga membuat kami ketagihan untuk terus dipukul dengan batang lidi," ujar beberapa pemain.


Beda Sejarah

Tradisi tergolong ekstrem dan digelar masyarakat Negeri Mamala dan Morela setiap 7 Syawal pascalebaran tersebut memiliki hikayat atau sejarah yang berbeda.

Di Desa Morela, tradisi adat ini digelar untuk mengenang perjuangan Achmad Leakawa, atau lebih populer dengan nama Kapitan/Pimpinan Perang Telukabessy beserta anak buahnya ketika menghadapi tentara Belanda dalam Perang Kapahala (1643-1646 M).

Perang ini dipicu pendirian markas VOC (kongsi dagang Belanda) di Teluk Sewatelu, Ambon, tahun 1636 M. Perang semakin tak terelakkan ketika tentara Belanda hendak merebut Benteng Kapahala, milik warga Maluku dengan cara mengepungnya dari berbagai penjuru. Dalam perang ini, para pejuang terdesak akibat serangan dari darat yang didukung tembakan meriam kapal-kapal VOC dari laut. Karena tidak berimbang, akhirnya benteng yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Morella dan Mamala tersebut dapat dikuasai Belanda.

Pada perang itu, Kapitan Telukabessy dapat meloloskan diri. Namun anak buahnya banyak ditangkap tentara Belanda. Sebagian dari mereka dijadikan tawanan di Teluk Sewatelu dan sisanya lagi dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang).

Meskipun berhasil meloloskan diri Kapitan Telukabessy tetap dihadapkan pada situasi sulit antara menyerahkan diri atau anak buahnya dibunuh kompeni. Akhirnya, Kapitan Telukabessy memilih menyerahkan diri pada Komandan Verheijden pada tanggal 19 Agustus 1646. Oleh Gubernur Gerard Demmer, Telukabessy dijatuhi hukuman gantung di Benteng Victoria, Ambon pada tanggal 27 September 1646.

Setelah ditawan selama tiga bulan di Teluk Sewatelu, anak buah Kapitan Telukabessy dibebaskan Belanda. Sebelum berpisah dan kembali ke daerah asal masing-masing, mereka menggelar acara perpisahan terbilang heroik, dengan menampilkan aneka tari adat, menyanyikan lagu-lagu daerah, dan acara pukul sapu.

Tujuannya adalah agar tetesan darah dari tubuh mereka yang jatuh dan meresap ke tanah dapat mengingatkan mereka untuk berkumpul kembali di tempat tersebut suatu saat nanti.

Sedangkan di Negeri Mamala, tradisi ini dilakukan secara turun-temurun untuk mengenang keberhasilan warga desa setempat membangun masjid tanpa menggunakan "Ping" atau paku pada abad 17.

Ihwal cerita, usai perang Kapahaha (1637-1646), rakyat diperintahkan oleh Belanda untuk turun dari Gunung (negeri Mamala lama) dan mendirikan kampung dan masjid di pesisir agar mudah diawasi.

Saat membangun masjid warga kesulitan menyambung kayu-kayunya sehingga pekerjaannya terbengkalai. Imam Tuni, seorang tokoh agama saat itu, melakukan puasa selama beberapa hari untuk memperoleh petunjuk yang diberikan dalam mimpinya saat tidur.

Dalam mimpinya Imam Tuni disuruh menyambung kayu-kayu tersebut menggunakan minyak "Nyualaing Matetu" atau yang lebih dikenal dengan minyak "Tasala" (keseleo-red). Minyak ini kemudian digunakan untuk membasahi potongan kain putih yang dipakai menyambung kayu-kayu tersebut.

Hal ini dapat dibuktikan saat pembongkaran masjid tua di Desa itu, di mana ditemukan potongan kain putih pada setiap sambungan kayu maupun tiang tidak menggunakan "Ping" atau paku. Satu-satunya kayu yang menggunakan paku adalah Tiang Alif pada mesjid tua itu.

Minyak yang oleh kalangan masyarakat Ambon atau Maluku pada umumnya lebih mengenalnya dengan sebutan "minyak Mamala" ini ternyata memiliki kasiat yang terbukti ampuh untuk mengobati penyakit patah tulang dan keseleo.

Untuk membuktikan keampuhannya ini, maka dilakukan uji coba pemukulan dengan menggunakan batang lidi mentah dari pohon Enau, di mana ternyata luka yang ditimbulkan akibat sabetan lidi menjadi sembuh setelah dioles minyak "Nyualaing Matetu".

Minyak inilah yang akhirnya digunakan untuk mengobati luka para pemain akibat bekas pukulan sapu lidi. Dalam tempo dua atau tiga hari lukanya akan mengering dan tidak meninggalkan bekas. Keberhasilan ini kemudian dirayakan dengan memilih waktu tepat berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW untuk dilaksanakan yakni hari raya ke tujuh atau 7 Syawal setelah lebaran dengan tradisi Pukul Sapu.  (JA/T007)

Oleh Jimmy Ayal
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014