Jakarta (ANTARA) - "Pangan adalah soal hidup dan matinya suatu bangsa." Kutipan pidato Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno ini menggambarkan betapa pentingnya ketahanan pangan bagi kelangsungan hidup suatu negara.

Pangan bukan sekadar pemenuhan kebutuhan dasar, tetapi juga fondasi utama dalam menciptakan sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif.

Dalam pembangunan Indonesia, ketahanan pangan memiliki peran strategis dalam memperkuat status gizi dan kesehatan masyarakat, yang pada akhirnya menentukan kualitas sumber daya manusia yang akan berperan dalam membangun bangsa.

Saat ini, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam memastikan ketahanan pangan nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka ketidakcukupan konsumsi pangan pada tahun 2023 sebesar 8.53 persen, masih jauh dari target ambisius Indonesia Emas 2045, yakni 0.77 persen.

Angka tersebut mencerminkan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang mengonsumsi pangan di bawah standar kebutuhan energi harian minimum untuk menjalani hidup yang sehat dan produktif.

Menjawab tantangan tersebut, dalam pidato pertamanya, usai pengucapan sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia pada Minggu, 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya swasembada pangan sebagai solusi jangka panjang untuk memastikan kedaulatan pangan Indonesia.

Indonesia harus mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan nasional secara mandiri. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap negara lain di tengah situasi krisis global.

Sebagai negara dengan biodoversitas tinggi, Indonesia memiliki peluang besar untuk menggali potensi pangan lokal untuk mendukung ketahanan pangan. Hal tersebut sejalan dengan upaya untuk memperbaiki status gizi masyarakat, mengurangi angka ketidakcukupan konsumsi pangan, dan pada akhirnya mewujudkan Indonesia Emas 2045 dengan generasi yang sehat, cerdas, dan berdaya saing tinggi di tingkat global.

Penggunaan bahan pangan lokal tidak hanya relevan dari segi ketersediaan, tetapi juga selaras dengan prinsip keberlanjutan dan kearifan lokal yang diusung dalam visi Indonesia Emas 2045. Berdasarkan UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012, pangan lokal didefinisikan sebagai makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat yang sesuai dengan potensi alam dan kearifan lokal di suatu wilayah.

Pemanfaatan pangan lokal, seperti singkong, sukun, sagu, dan berbagai jenis umbi-umbian, memungkinkan masyarakat untuk mengakses sumber daya pangan yang lebih beragam, terjangkau, dan kaya gizi. Selain itu, pangan lokal, umumnya lebih sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, sehingga lebih mudah dikembangkan dan dikelola secara berkelanjutan, tanpa menimbulkan tekanan besar terhadap lingkungan.

Pengembangan pangan lokal juga memiliki potensi besar dalam mendukung upaya substitusi pangan pokok, seperti beras dan gandum, yang selama ini mendominasi pola konsumsi masyarakat Indonesia. Misalnya, diversifikasi sumber karbohidrat dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan pangan lokal, seperti singkong, ubi jalar, talas, dan sagu. Bahan-bahan ini memiliki kandungan nutrisi yang bermanfaat, seperti serat, vitamin, dan mineral, yang dapat menjadi alternatif sumber karbohidrat yang sehat dan bergizi.

Dengan meningkatkan konsumsi pangan lokal, ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan pangan pokok, seperti beras dan gandum, dapat dikurangi, sehingga negara tidak hanya lebih mandiri dalam hal pangan, tetapi juga mampu mengembangkan potensi ekonomi lokal melalui pemberdayaan petani lokal.

Selain itu, diversifikasi pangan berbasis bahan lokal ini juga sejalan dengan program nasional penganekaragaman konsumsi pangan, yang bertujuan untuk memperbaiki pola makan masyarakat, dengan memperkenalkan pilihan makanan yang lebih sehat dan seimbang, serta mendorong ketahanan pangan yang lebih kuat di masa depan.


Peran Iimu pangan

Ilmu pangan memiliki peran yang sangat strategis dalam menjawab tantangan ketahanan pangan, terutama melalui pengembangan pangan berbasis bahan pangan lokal.

Melalui pendekatan ini, ilmu pangan dapat mendorong penganekaragaman pangan, yaitu menyediakan berbagai jenis bahan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat secara seimbang.

Pengembangan pangan lokal dimulai dengan karakterisasi bahan pangan lokal yang ada pada setiap daerah terlebih dahulu, untuk mengetahui potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut. Pengetahuan akan bahan juga diiringi dengan penerapan teknologi serta penjaminan mutu untuk menghasilkan pangan yang bergizi, bermutu dan aman, baik aman secara jasmani maupun rohani.

Pangan yang aman secara jasmani dapat diperoleh dengan menerapkan praktik-praktik yang baik pada setiap rantai pasok pangan, yaitu dari ladang (penanganan oleh petani atau peternak), pengolahan, distribusi, hingga siap dikonsumsi oleh konsumen.

Dengan ilmu pangan, keamanan pangan from farm to table dapat terjamin, melalui identifikasi bahaya keamanan pangan hingga penetapan standar keamanan pangan pada bahan maupun produk pangan.

Selain aman bagi kesehatan jasmani, pangan juga harus tidak bertentangan dengan budaya, agama, dan keyakinan masyarakat.

Di Indonesia, aspek keamanan rohani dijamin, salah satunya melalui sertifikasi halal pada produk pangan. Ilmu pangan dapat berperan dalam menjamin kehalalan produk melalui pengetahuan akan karakteristik bahan, proses produksi, dan metode analisis produk pangan. Dengan mengonsumsi pangan yang bergizi, sehat, serta aman, baik secara jasmani maupun rohani, diharapkan dapat terbentuk SDM unggul untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.


Hilirisasi

Solusi hilirisasi ilmu pangan dalam pembangunan berkelanjutan meliputi beberapa hal, yaitu pemanfaatan bahan pangan lokal, diversifikasi pangan, penjaminan keamanan dan mutu pangan, inovasi teknologi pangan, edukasi dan kampanye kesadaran pangan lokal, dukungan kebijakan, dan kolaborasi antarsektor.

Solusi pertama, pengembangan pangan berbasis bahan lokal, seperti singkong, sagu, sukun, dan umbi-umbian harus menjadi prioritas. Ilmu pangan dapat digunakan untuk mengarakterisasi potensi bahan pangan lokal dari setiap daerah, memastikan bahan tersebut sesuai untuk diversifikasi pangan pokok.

Teknologi pengolahan pangan modern diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah bahan pangan lokal, sehingga dapat bersaing dengan produk berbasis impor. Upaya ini akan mengurangi ketergantungan pada bahan impor, seperti beras dan gandum, sekaligus memberdayakan petani lokal dan meningkatkan ekonomi daerah.

Kedua, diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan mendorong konsumsi berbagai sumber karbohidrat selain beras, seperti singkong dan ubi jalar. Langkah ini tidak hanya memperkaya pola makan masyarakat, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan nasional. Ilmu pangan berperan dalam mengembangkan produk yang berbasis bahan lokal dengan nilai gizi tinggi, rasa yang sesuai selera konsumen, dan umur simpan yang lebih lama.

Selanjutnya, ketiga, penguatan keamanan pangan dari hulu ke hilir, atau konsep from farm to table. Ini melibatkan penerapan praktik pertanian yang baik, pengolahan yang higienis, serta distribusi yang aman. Standar keamanan pangan harus ditegakkan melalui regulasi yang jelas, pengawasan yang ketat, dan sertifikasi. Sertifikasi halal juga harus diintegrasikan untuk memastikan produk pangan aman secara jasmani dan rohani, sesuai dengan kepercayaan masyarakat Indonesia.

Keempat, inovasi teknologi pangan. Ilmu pangan harus mendorong inovasi teknologi yang ramah lingkungan dan hemat energi. Teknologi termal dan non-termal modern, seperti high pressure processing (HPP) atau pemanasan ohmik, dapat digunakan untuk menghasilkan produk yang bergizi, aman, dan berkelanjutan. Pengembangan teknologi untuk memperpanjang umur simpan pangan lokal juga diperlukan untuk meningkatkan daya saing produk di pasar domestik dan internasional.

Kelima, edukasi dan kampanye kesadaran pangan lokal. Kampanye kesadaran untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya konsumsi pangan lokal yang sehat, bergizi, dan ramah lingkungan harus diperkuat. Program ini dapat mencakup pelibatan media massa, pelatihan masyarakat, dan penguatan sistem edukasi formal. Label produk yang menonjolkan keunggulan bahan lokal juga dapat membantu meningkatkan penerimaan konsumen.

Keenam, dukungan kebijakan. Pemerintah perlu menerapkan kebijakan strategis untuk mendukung hilirisasi ilmu pangan, seperti memberikan insentif bagi pengembangan produk berbasis lokal dan penguatan sistem distribusi pangan. Kebijakan swasembada pangan harus didukung oleh modernisasi sektor pertanian, pengembangan infrastruktur, dan investasi riset untuk memastikan keberlanjutan pembangunan pangan.

Kemudian, kolaborasi antarsektor. Hilirisasi ilmu pangan memerlukan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, universitas, industri, dan masyarakat. Universitas dapat berperan dalam penelitian dan pengembangan, sementara industri bertugas dalam produksi massal dan distribusi. Pemerintah harus memastikan regulasi yang mendukung serta infrastruktur yang memadai untuk menunjang seluruh proses.

Dengan solusi ini, ilmu pangan dapat memainkan peran signifikan dalam mendukung ketahanan pangan nasional, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Upaya ini sekaligus akan membawa Indonesia lebih dekat dengan visi Indonesia Emas 2045.

*) Rima Hidayati adalah Dosen Teknologi Pangan Universitas ASA Indonesia, Mahasiswa S3 Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, IPB University

​​​​​​​

Copyright © ANTARA 2024