Jakarta (ANTARA News) - Berkaus putih lusuh tanpa lengan, Oma Yoti menikmati semilir angin pagi di bangku usang di Rumah Singgah Waria "Anak Raja". Kulitnya keriput, bibir dan pipinya sudah melorot.

Dunia malam sudah dia tinggalkan semenjak tahun 1992. Sekarang ia menjadi kepala rumah tangga Rumah Singgah Waria "Anak Raja" di Meruyung, Cinere, Depok, Jawa Barat.

"Saya sekarang berumur 71 tahun," katanya sambil mengubah posisi duduk.

Ia telah empat tahun menetap di rumah singgah waria untuk mengabdi, membantu teman sesama waria, menerima tamu yang datang silih berganti, memasak makanan kecil, atau berdiam diri di kamar membaca doa dan alkitab.

Anak pensiunan polisi yang terlahir sebagai lelaki tapi merasa lebih nyaman hidup sebagai perempuan itu mulai bekerja di dunia hiburan malam sebagai waria tahun 1961.

Ia menjadi pekerja malam di Jayapura selama lima tahun. Tahun 1966 ia mendapat tawaran kerja di kapal Tolando tujuan Surabaya-Jayapura. Ia bekerja menjadi juru masak dan pengelola koperasi makanan kecil selama tiga tahun.

Tahun 1970 ia memutuskan menetap di Surabaya untuk bekerja sebagai waria dan setelah itu kembali ke Jakarta dengan uang yang dikumpulkan selama merantau di Indonesia Timur.

Oma Yoti, yang lahir di Jakarta, kemudian membuat paspor agar bisa bekerja dan belajar salon di Singapura. Ia menginjakkan kaki di Singapura tahun 1971 namun tidak bisa bekerja di sana.

"Singapura kota kecil, waria tidak boleh cari uang di jalan raya," katanya dengan suara serak.

Oma Yoti lantas berlabuh di Malaysia. Ia sempat berpindah-pindah dari Johor, Kuantan hingga Terengganu, bekerja sebagai juru masak dan berpacaran dengan polisi Negeri Jiran.

Setelah 30 tahun merantau di negeri orang dan menghadapi berbagai terpaan masalah, termasuk diserang istri orang, dia memutuskan berhenti menjadi pelayan syahwat dan meninggalkan dunia malam.

"Aku enggak mau jadi waria, aku enggak mau cari uang di jalan, cari yang halal dari keringat aku," ungkapnya sambil menunjukan beberapa fotonya ketika masih muda.

Tahun 1992, dia memutuskan untuk memotong rambut, mengenakan pakaian seperti umumnya laki-laki dan bekerja.

"Hidup itu pilihan, bertobat tidak ada paksaan, bertobat itu datang dari hati," ujarnya sambil menundukan kepala.

Saat ini Oma Yoti merupakan penghuni tetap rumah singgah khusus untuk waria lanjut usia di dekat kampung yang berada tak jauh dari Masjid Kubah Emas Dian al-Mahri itu. Ia tinggal di sana bersama waria tua lainnya.

Ketika ditanya kemana teman-teman penghuni yang lainnya, ia menjelaskan,"Mereka bekerja jual kue di pasar, ada yang bekerja di salon."

"Oma bantu buat kuenya, mereka jual di pasar," katanya.

Ia menambahkan, penghuni rumah singgah yang menaungi 14 waria itu tidak hanya bekerja untuk diri sendiri. Mereka juga sering membagikan bahan pokok dan makanan serta keahlian menjahit serta merias ke warga sekitar.

"Saya ingin berbuat kebaikan dan bermanfaat untuk masyarakat," ungkapnya.


Berawal dari kesedihan

Rumah Singgah Waria "Anak Raja" dibangun akhir Maret 2010. Yulianus Rettoblaut, yang biasa dipanggil Mami Yuli, menggagas pembangunan rumah singgah itu karena sedih waria sulit diterima masyarakat, bahkan yang sudah tua atau meninggal dunia sekalipun.

"Mereka dikubur massal karena masyarakat menolak menguburnya," kata Mami Yuli, yang menjabat sebagai Ketua Forum Komunikasi Waria se-Indonesia dan sedang bersiap menghadiri festival film dokumenter tentang rumah singgah waria lanjut usia di Prancis.

Rumah singgah yang berdiri di Gang Golf itu kini menjadi tempat para waria berbagi, saling bercerita, melakukan berbagai kegiatan sosial, dan berdiskusi.

Mami Yuli dan waria-waria di rumah singgah juga aktif memperjuangkan hak-hak waria sebagai warga negara.

"Kita mau memperjuangkan hak kita sebagai warga negara sesuai konstitusi," kata Mami Yuli, yang melalui proses panjang untuk meninggalkan pekerjaan di dunia malam.

Mami Yuli, yang pernah hidup di jalanan selama 17 tahun, ingin teman-temannya sesama waria berdaya. Pemilik lima salon di Jakarta itu ingin mereka menyempatkan diri mengikuti pendidikan.

"Saya selalu mengingatkan ke teman-teman untuk menyempatkan sekolah dan sekolah, pendidikan itu penting biar kita dianggap," ujar Mami Yuli.

Dia mengaku beberapa kali ditolak masuk ke perguruan tinggi tapi akhirnya dia berhasil masuk, meraih gelar sarjana hukum, dan kembali melanjutkan pendidikan, setelah usahanya menjadi komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2007 dan 2012 tak berhasil.

Sekarang dia sedang sibuk mengerjakan tesis tentang hak warga negara, khususnya kaum transgender.

"Dengan berpendidikan kita dianggap ada," demikian Mami Yuli.

Oleh M Agung Rajasa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014