Jakarta (ANTARA) - Dalam beberapa bulan terakhir ini ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) melanda dunia ketenagakerjaan negeri ini. Fenomena ini seiring dengan kondisi ekonomi dunia yang belum stabil di tengah sejumlah konflik antarnegara, baik di Timur Tengah maupun Eropa.
Riak PHK terbaru terjadi di industri padat karya seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri yang pernah menjadi primadona negeri ini, namun kini seakan menjadi sunset industry.
Belum lama ini industri TPT besar di Jawa Tengah, Sritex, yang pernah berjaya memberi kontribusi ekspor dengan produk unggulan bahan untuk baju tentara, dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang melalui putusan perkara dengan Nomor 2/Pdt.Sus Homologasi/2024/PN Niaga Smg pada 21 Oktober 2024.
Hal itu memicu ancaman PHK terhadap ribuan karyawan industri tekstil tersebut meskipun manajemen Sritex mengatakan karyawan tersebut masih berstatus "diliburkan" dan gaji mereka tetap dibayar.
Kondisi serupa juga terjadi pada sektor industri lainnya, termasuk industri media, lokapasar, hingga ritel. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat sebanyak 32.064 pekerja terkena PHK sepanjang periode Januari hingga Juni 2024. Kondisi tersebut menekan daya beli kelas menengah, yang berdampak pada anjloknya penjualan sektor ritel, setidaknya hal terlihat beberapa gerai makanan siap saji terkemuka tutup karena omzet yang terus menurun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menyebutkan ada 7,47 juta orang yang menganggur pada Agustus 2024. Jumlah itu meningkat jika dibandingkan dengan Februari 2024 yang mencapai 7,20 juta pengangguran. Namun bila dibandingkan periode yang sama Agustus 2023 terjadi penurunan karena pada periode tersebut ada 7,99 juta penganggur.
Pemerintah baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto pun mengakui masalah pengangguran dan peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi tantangan sekaligus prioritas penanganan.
Hal itu setidaknya disampaikan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli. Menteri baru itu mengatakan Pemerintah serius merespons kekhawatiran adanya gelombang PHK dan masih tingginya pengangguran di Tanah Air.
Untuk itu ia pun menggandeng pemerintah daerah dan swasta bekerja sama mengatasi masalah pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, salah satunya dengan menumbuhkan minat wirausaha dan mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah(UMKM). Menteri Yasserli pun menyatakan kesiapan untuk memfasilitasinya.
Peran pemda
Di sini pemerintah daerah atau pemda memegang peranan penting dalam mengatasi berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi Pemerintah Pusat di segala bidang, termasuk pengangguran, karena merekalah yang mengetahui lebih awal kondisi di lapangan.
Mereka pula yang memainkan peranan penting dalam menciptakan iklim yang kondusif agar dunia usaha bisa bekerja optimal dan nyaman menjalankan usaha sehingga bisa menyerap tenaga kerja dan mendulang investasi yang menjadi salah satu faktor penting dalam menekan angka pengangguran.
Apalagi di tengah kondisi ekonomi saat ini tidak mudah bagi pemda mendapatkan investor baru maupun lama yang memperluas usaha mereka. Meskipun berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) realisasi investasi dalam 10 tahun terakhir terus meningkat mencapai Rp9.117,4 triliun selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 13.836.775 orang, hal itu tetap tidak mudah menarik investasi saat ini.
Apalagi pertumbuhan perekonomian dunia terbilang masih rendah, hanya sekitar 3 persen, sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5 persen, masih lebih rendah dari pertumbuhan sebelum pandemi COVID-19.
Oleh karena itu, pemda perlu melakukan berbagai inovasi dan terobosan agar investasi datang dan UMKM yang sudah ada bisa bertahan dan berkembang. Bahkan kalau bisa memunculkan banyak pelaku UMKM baru agar bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak.
Berdasarkan data Sistem Informasi Data Tunggal (SIDT) KUMKM, di Indonesia terdapat 13.398.605 unit UMKM dengan konsentrasi terbesar di Pulau Jawa sebanyak 6,19 juta (46,20 persen), kemudian Sumatera 3,66 juta (27,30 persen), Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 1,08 juta UMKM (8,07 persen), Kalimantan sebanyak 701.790 UMKM (5,24 persen), Sulawesi sebanyak 1,56 juta (11,66 persen), serta Maluku dan Papua sebanyak 206.508 ribu (1,54 persen).
Dengan jumlah yang demikian besar, menurut Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, sektor UMKM menyediakan sekitar 97 persen lapangan kerja di Indonesia. Sebuah kekuatan yang besar untuk menekan angka pengangguran di Indonesia, yang masih di atas 4 persen tahun ini.
Sejumlah pemda memang terlihat telah berupaya melakukan terobosan dan inovasi dalam menjaring investor, sekaligus menumbuhkembangkan UMKM. Berbagai promosi investasi hingga ke luar negeri pun dilakukan dan beragam pelatihan digelar untuk meningkatkan daya saing UMKM.
Selain itu juga terlihat pemda melalui Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) mengoptimalkan badan latihan kerja (BLK) yang ada untuk melatih warga pada bidang-bidang tertentu sesuai kompetensi BLK, atau menggelar pelatihan dengan menghadirkan narasumber dari praktisi yang kompeten, misalnya, yang dilakukan Pemprov Papua dengan menggelar berbagai pelatihan seperti tata rias, pangkas rambut, hingga perbengkelan bagi warga orang asli Papua (OAP).
Daya tarik investasi dan kesiapan tenaga kerja yang terampil menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi Pemerintah, khususnya daerah, agar tidak hanya dilirik investor asing maupun domestik, tapi juga menyiapkan tenaga kerja yang tangkas menghadapi gelombang ketenagakerjaan yang tidak pasti di tengah situasi ekonomi dunia saat ini sehingga mampu mandiri.
Copyright © ANTARA 2024