Jakarta (ANTARA) - Akademisi Universitas Kristen Indonesia (UKI) Manuel Kaisiepo mengingatkan segala bentuk investasi dalam bidang eksplorasi sumber daya alam (SDA) di Indonesia harus ada persetujuan dari masyarakat adat sebelum dijalankan atau disepakati.
"Persetujuan dari masyarakat adat menjadi langkah awal untuk memastikan bahwa pembangunan berkelanjutan yang sedang digadang saat ini benar-benar berjalan sesuai tujuannya," kata Manuel dalam diskusi bertema 'Masyarakat Adat Sebagai Garda Terdepan Pelestarian Alam' yang diadakan oleh Lembaga Konservasi Indonesia di Jakarta, Sabtu sore.
Mantan penasihat senior Kepala Kantor Staf Presiden RI 2019-2024 ini mengakui bahwa langkah hilirisasi yang tengah digenjot pemerintah untuk memaksimalkan manfaat sumber daya alam bagi masyarakat lokal adalah keputusan yang patut diapresiasi.
Namun ia menegaskan, pendekatan hilirisasi bukan hanya tentang memanfaatkan kekayaan alam, tetapi juga memberikan manfaat langsung bagi masyarakat sekitar, termasuk peningkatan ekonomi masyarakat adat.
"Masyarakat adat adalah penjaga ekosistem yang telah hidup harmonis dengan alam selama berabad-abad sehingga perlunya dialog antara masyarakat adat, pemerintah, dan investor dalam setiap proses pembangunan," kata dia.
Baca juga: Kemenhut: Perhutanan sosial capai lebih dari 8 juta ha hingga Oktober
Ia menjabarkan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) harus menjadi pedoman, beberapa iktikad untuk memberikan kepastian hukum yang diinisiasi pemerintah kepada masyarakat adat harusnya pula dapat dipahami bagi para pemodal asing maupun domestik bahwa perlindungan hak masyarakat adat itu tidak boleh dikesampingkan.
Adapun pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat semakin diperkuat setelah diakuinya hutan adat melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012 dan rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat yang saat ini tinggal menunggu dijadikan Undang-undang karena sudah masuk dalam program legislasi nasional di DPR.
Ia mengaku optimistis hanya dengan kolaborasi antara masyarakat adat, sektor swasta, dan lembaga pemerintah maka pembangunan berkelanjutan dapat tercapai tanpa mengorbankan kearifan lokal.
Pendampingan yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Kehutanan, bersama lembaga non-pemerintah lainnya kepada masyarakat adat harus pula diteruskan. Ia mencontohkan salah satunya di Papua yang sampai dengan 2024 ini sudah lebih dari 200 komunitas masyarakat adat setempat dipastikan mendapat perhatian terhadap sosial-ekonomi dari pemerintah.
"Papua, sebagai salah satu wilayah dengan kekayaan alam dan budaya terbesar di dunia, memiliki potensi besar untuk terus berkembang dengan masyarakat adat sebagai penjaga alam dan budaya. Langkah ini merupakan wujud nyata untuk memastikan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan mereka terlindungi," kata dia, yang juga mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia ini.
Baca juga: WWF Indonesia-masyarakat adat Sereh bersinergi jaga pangan lokal Papua
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024