Bogor (ANTARA News) - Organisasi konservasi alam BirdLife International atau Yayasan Burung Indonesia menyatakan salah satu jenis burung baru yang ditetapkan pada tahun 2014 yakni Udang-Merah Sangihe (Ceyx sngirensis) saat ini statusnya terancam punah.

"Survei Burung Indonesia di Pulau Sangihe pada kurun waktu 2004 hingga 2006 maupun pada 2009 tidak berhasil menjumpai jenis burung ini. Pengamatan singkat di Hutan Suhendaruman pada 2014 juga gagal menemukan Udang-Merah Sangihe," kata Jihad, Bird Conservation Officer Burung Indonesia-mitra BirdLife International dalam siaran pers yang dikirimkan kepada Antara di Bogor, Rabu.

Jihad menjelaskan, burung jenis Raya-Udang berukuran kecil yang hanya hidup di Pulau Sangihe dan Talaud resmi ditetapkan menjadi jenis burung baru melalui kajian Daftar Merah 2014.

Kajian tersebut dilakukan oleh Burung Indonesia-mitra BirdLife International yakni organisasi konservasi alam yang memiliki 120 mitra di seluruh dunia, menambah kekayaan jenis burung di dunia menjadi 10.425 jenis atau 10 persen lebih banyak.

Hal ini dikarenakan adanya penambahan 361 jenis burung bukan petengger (non-passerine) yang kini diakui sebagai jenis burung baru. Beberapa jenis tersebut berasal dari Asia Tenggara termasuk Indonesia.

"Berdasarkan kajian ini di Indonesia terdapat penambahan setidaknya 48 jenis yang merupakan hasil pemisahan dari jenis yang sudah ada sebelumnya, serta satu penambahan dari temuan jenis baru," ujar Jihad.

Salah satu jenis baru yang ditetapkan pada 2014 ini yaitu udang-merah sangihe Ceyx sangirensis.

Burung endemik Pulau Sangihe, Sulawesi Utara ini semula dimasukkan dalam jenis udang-merah sulawesi Ceyx fallax.

Sayangnya, berbeda dengan sepupunya di Sulawesi yang belum masuk kategori terancam, udang-merah sangihe saat ini terancam punah. Catatan perjumpaan terakhir jenis ini adalah pada tahun 1997 dan sejak itu belum pernah ditemukan kembali.

Berdasarkan fakta tersebut, lanjut Jihad, pada kajian Daftar Merah 2014, burung yang menghuni hutan primer dataran rendah ini ditetapkan sebagai jenis Kritis.

"Artinya, jenis ini tinggal selangkah lagi menuju kepunahan jika tidak ada tindakan pelestarian secepatnya. Di Sangihe, hutan primer dataran rendah sudah nyaris habis.

Namun, diduga udang-merah sangihe masih bertahan di lembah-lembah berhutan yang tidak terjangkau meski dalam jumlah sangat kecil," kata Jihad.

Jihad mengatakan, karena itu hasil kajian yang diserahkan kepada badan konservasi dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) ini memunculkan pentingnya pelestarian beberapa "bird hotspot" atau daerah kaya jenis burung yang kondisinya terancam.

Budi Utomo, Direktur Burung Indonesia menambahkan, Sangihe merupakan daerah penting untuk endemisme dan keterancaman karena memiliki banyak jenis unik yang

tidak ditemukan di tempat lain di dunia, serta jenis langka terancam punah.

"Daerah-daerah semacam ini telah ditetapkan menjadi prioritas konservasi dunia, dan sangat memerlukan aksi konservasi secepatnya untuk melindungi habitat dan masa depan burung-burung kritis seperti udang-merah sangihe," kata Agus.

Dr Stuart Butchart, Kepala Bidang ilmu Pengetahuan BirdLife mengatakan, di Jawa, jenis yang baru diakui seperti pelatuk punggung-emas Chrysocolaptes strictus masuk dalam status Rentan dan raja-udang kalung-biru Alcedo euryzona masuk dalam status Kritis, menunjukkan bahwa pulau terpadat di dunia ini juga menjadi rumah bagi
sejumlah jenis burung unik. Namun, padatnya populasi penduduk dan hilangnya habitat alami di pulau ini menjadi ancaman tersendiri bagi keberadaan jenis-jenis burung baru tersebut.

Raja-udang kalung-biru, lanjut Stuart, saat ini diakui sebagai jenis endemis Jawa.

Sementara jenis serupa yang ada di Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Kalimantan yang semula juga dimasukkan dalam jenis yang sama, kini diberi nama baru yaitu raja-udang peninsula Alcedo peninsulae.

Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014