Jakarta (ANTARA News) - Pemerintahan baru perlu menetapkan "zero deficit" yang berarti penerimaan dan pengeluaran seimbang pada APBN 2015 sehingga dapat memberikan ruang fiskal yang lebih luas, kata seorang pengamat ekonomi.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Hendri Saparini di Jakarta, Rabu, mengatakan postur APBN dalam beberapa tahun terakhir yang selalu menyisakan ruang defisit anggaran telah membebani keuangan negara.

"Pemerintah perlu menghindari penetapan anggaran belanja defisit, karena dampaknya terhadap pembiayaan, dari utang luar negeri dan obligasi," ujarnya mengomentari defisit anggaran pada Rancangan APBN 2015 sebesar 2,32 persen.

Pemerintah periode sekarang telah mengajukan defisit anggaran sebesar 2,32 persen dari PDB atau setara dengan Rp257,6 triliun dalam RAPBN 2015.

Selama ini, menurut Hendri, besaran defisit dari rencana belanja negara terhadap pendapatan diambil dari utang luar negeri dan penerbitan obligasi.

Padahal, jika melihat tren penerbitan surat berharga obligasi, besaran "yield" terus meningkat, dan dapat menyebabkan pemerintah semakin sulit membayar. Hal itu juga, ujar dia, yang mengakibatkan APBN selalu mengalami defisit primer selama dua tahun terakhir.

"Bunga obligasi yang mengambang jadinya sangat ditentukan oleh pasar yang fluktuatif," ujarnya.

Menurut Hendri, meski pemerintah mengatakan bahwa rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) menurun dari 46 persen pada 2005 menjadi 26 persen tahun 2013, beban utang pemerintah justru membengkak. Indikator rasio utang terhadap PDB, kata dia, tidak cukup sebagai pertimbangan untuk menetapkan kebijakan utang pada RAPBN 2015.

"Ada data penting yang harus menjadi pertimbangan," ujarnya.

Misalnya, Hendri menjelaskan, menurut data CORE, dalam 10 tahun terakhir, beban utang pemerintah meningkat senilai sekitar dua kali lipat Rp1.268 triliun menjadi Rp2.508 triliun dari 2005 hingga Juni 2014.

Sementara, menurut dia, kemampuan pemerintah membayar yang diindikasikan dengan "debt to service ratio" (DSR) justru kian melemah.

Defisit anggaran sebesar 2,32 persen dari PDB, setara dengan Rp257,6 triliun, turun dari asumsi APBN-P 2014 sebesar 2,4 persen.

Sementara itu, pembahasan RAPBN 2015 antara pemerintah dengan DPR akan dimulai 25 Agustus 2015, dan disahkan menjadi APBN 2015 pada akhir September. Pemerintah terpilih belum dapat dipastikan dapat mengikuti atau terlibat dalam pembahasan RAPBN 2015, mengingat proses hukum mengenai sengketa hasil Pilpres 2014 masih berlangsung. 

(I029/T007)

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014