Jakarta (ANTARA) - Belakangan ini, dua peristiwa tragis kembali mencuat dan menjadi perhatian publik terkait penggunaan senjata api oleh aparat penegak hukum.
Kasus seorang polisi yang menembak rekan sesama anggota, serta insiden tewasnya siswa SMK di Semarang akibat peluru dari senjata aparat, memicu diskusi luas tentang potensi penyalahgunaan senjata api di kalangan aparat keamanan.
Peristiwa-peristiwa ini mengusik rasa aman masyarakat, sekaligus memunculkan pertanyaan terkait apakah regulasi dan pengawasan yang ada sudah cukup untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Dalam lingkup tugas penegakan hukum, senjata api memang menjadi alat penting yang berfungsi sebagai perlindungan diri dan pelaksanaan tugas.
Namun, penggunaan senjata api tidak hanya membawa tanggung jawab besar, tetapi juga risiko penyalahgunaan jika tidak disertai pengawasan ketat, pelatihan yang memadai, dan kondisi psikologis yang stabil dari pemegangnya.
Kejadian-kejadian baru-baru ini menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut mungkin belum sepenuhnya terpenuhi.
Sebagai langkah awal, semua perlu melihat kembali regulasi yang mengatur penggunaan senjata api oleh aparat.
Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi pedoman utama.
Peraturan ini menekankan pentingnya prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas kepolisian. Beberapa poin penting meliputi peringatan sebelum menggunakan senjata dimana polisi harus memberikan peringatan yang jelas sebelum menggunakan senjata api, kecuali dalam keadaan mendesak di mana penundaan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat.
Kemudian, polisi harus memberikan tembakan peringatan ke udara atau ke tanah untuk menurunkan mental pelaku dan memberikan peringatan.
Hanya saja, dalam praktiknya, implementasi aturan ini sering kali menghadapi kendala. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya pengawasan yang konsisten terhadap pelaksanaan peraturan tersebut.
Dalam beberapa kasus, senjata api mungkin saja diberikan kepada aparat tanpa evaluasi psikologis yang menyeluruh, padahal kondisi mental individu sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan di lapangan.
Peneliti Kepolisian Arman Hidayat, Syahruddin Nawi, dan Nasrullah Arsyad dalam Journal of Lex Theory (JLT) Volume 3, Nomor 2, Desember 2022, melakukan penelitian mengenai penyalahgunaan senjata api oleh aparat kepolisian.
Penelitian ini menemukan bahwa frekuensi penyalahgunaan senjata api oleh aparat Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan di Kota Makassar (sebagai lokus penelitian) cukup tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyalahgunaan senjata api ini meliputi struktur hukum, pengetahuan hukum, dan budaya hukum.
Peneliti merekomendasikan agar institusi kepolisian melakukan pengawasan khusus yang responsif terhadap anggota yang diberi wewenang membawa senjata api.
Proses rekrutmen dan penempatan anggota kepolisian harus dilakukan secara profesional dan proporsional.
Selain itu, pembinaan terhadap anggota kepolisian perlu dilakukan secara intensif dan merata, khususnya untuk meningkatkan profesionalitas, termasuk pembinaan mental dan keterampilan khusus yang wajib dimiliki.
Izin pinjam pakai senjata api juga harus diberikan secara berkala dan selektif, sehingga jika terjadi perubahan perilaku yang mengarah pada potensi penyalahgunaan, senjata api dapat segera ditarik dari pemegangnya.
Kondisi-kondisi ini untuk mengantisipasi adanya potensi bahaya, terutama jika aparat mengalami tekanan emosional atau stres berat yang tidak terdeteksi.
Selain itu, pelatihan penggunaan senjata api jangan dilakukan secara sporadis untuk menekan faktor lain yang memperbesar risiko penyalahgunaan.
Sebab faktanya, pelatihan teknis menembak saja tidak cukup, aparat juga perlu dibekali dengan kemampuan pengambilan keputusan yang berbasis pada prinsip proporsionalitas dan akuntabilitas.
Dalam kasus tewasnya siswa SMK, misalnya, jika ada dugaan pada investigasi awal bahwa pelaku tidak mematuhi prosedur standar operasional terkait penggunaan senjata api dalam situasi non-darurat akan menjadi cermin adanya kelemahan dalam internalisasi nilai dan prinsip yang seharusnya mendasari penggunaan kekuatan oleh aparat.
Lebih jauh, faktor budaya institusional turut mempengaruhi penyalahgunaan senjata api.
Jangan sampai menumbuhkan budaya maskulinitas toksik, terutama di unit penegakan hukum, agar kepemilikan senjata api tidak diasosiasikan dengan status dan kekuasaan.
Karena jika budaya semacam ini dibiarkan, senjata api tidak lagi dipandang sebagai alat pelindung, melainkan simbol kekuatan yang dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Situasi ini jelas berpotensi memperburuk citra institusi kepolisian di mata masyarakat dan melemahkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Rekomendasi kebijakan
Upaya pencegahan penyalahgunaan senjata api oleh Polri juga telah dilakukan melalui peraturan berlapis, termasuk dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, yang mengatur mekanisme laporan untuk memastikan akuntabilitas dan keadilan.
Peneliti ilmu hukum dari Universitas Pekalongan Nur Fatoni, Listyo Budi Santoso, S.H., M.Kn., dan Nurul Huda, S.H., M.Hum., menganalisis pengaturan kewenangan penggunaan senjata api, faktor penyebab penyalahgunaan, dan upaya pencegahan yang dilakukan.
Mereka menemukan bahwa faktor internal penyebabnya meliputi pemahaman aturan, etika, dan kondisi psikologis anggota, sedangkan faktor eksternal mencakup pengawasan pimpinan dan situasi operasional.
Pencegahan dapat dilakukan melalui seleksi personel, pemeriksaan psikologi, dan evaluasi berkala, sementara tindakan represif berupa penindakan tegas terhadap pelanggaran.
Para peneliti merekomendasikan pengaturan yang lebih ketat dan sanksi yang konsisten untuk meningkatkan akuntabilitas dan mencegah penyalahgunaan senjata api.
Memang dalam perkembangannya, masalah ini sejatinya bukan tanpa solusi. Secara keseluruhan sejumlah rekomendasi dapat disampaikan.
Pertama, perlu ada penguatan mekanisme pengawasan internal yang lebih ketat. Setiap pemberian izin kepemilikan senjata api harus disertai evaluasi psikologis yang independen dan berkelanjutan, termasuk dalam bentuk asesmen mendalam terhadap tingkat stres kerja dan kondisi mental aparat.
Selain itu, audit reguler terhadap kepemilikan dan penggunaan senjata api dapat menjadi langkah preventif untuk mendeteksi potensi penyalahgunaan sejak dini.
Kedua, pelatihan penggunaan senjata api harus ditingkatkan secara komprehensif, mencakup aspek teknis, psikologis, dan etis.
Aparat perlu dilatih tidak hanya untuk menembak dengan presisi, tetapi juga untuk memahami kapan dan bagaimana senjata api dapat digunakan sesuai dengan prinsip hukum dan hak asasi manusia.
Program pelatihan berbasis simulasi situasi nyata, seperti yang diterapkan di beberapa negara maju, dapat menjadi model yang patut ditiru.
Ketiga, penting untuk mendorong reformasi budaya institusional yang lebih berorientasi pada pelayanan publik dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Kepemimpinan di setiap tingkat harus mampu menjadi teladan dalam mempraktikkan akuntabilitas dan transparansi, termasuk dalam menangani kasus-kasus penyalahgunaan senjata api.
Selain itu, sistem pelaporan masyarakat terkait dugaan penyalahgunaan kekuatan oleh aparat harus dioptimalkan dan dijamin keamanannya, sehingga masyarakat tidak takut untuk melaporkan kejadian yang mencurigakan.
Terakhir, perlunya pendekatan yang lebih empati terhadap kesehatan mental aparat. Lingkungan kerja yang penuh tekanan sering kali menjadi pemicu utama penyalahgunaan senjata api.
Program dukungan kesehatan mental, seperti konseling rutin dan layanan psikologis berbasis institusi, dapat membantu aparat mengelola stres mereka dengan cara yang lebih sehat.
Pada akhirnya, keberhasilan mencegah penyalahgunaan senjata api oleh aparat bergantung pada kemauan institusional untuk melakukan perubahan struktural yang nyata.
Kasus-kasus seperti yang terjadi belakangan ini harus menjadi momentum untuk memperbaiki sistem yang ada, bukan hanya dengan menjatuhkan sanksi terhadap pelaku, tetapi juga dengan mengatasi akar permasalahan yang lebih dalam.
Dengan regulasi yang ditegakkan secara konsisten, pengawasan yang ketat, dan budaya institusional yang sehat, kepercayaan publik terhadap aparat keamanan dapat dipulihkan, dan kasus penggunaan senjata api yang tak semestinya diharapkan dapat dihindari di masa depan.
Masyarakat Indonesia berhak hidup dalam rasa aman, dan aparat yang diberikan kepercayaan membawa senjata api harus memastikan bahwa kepercayaan ini tidak pernah disalahgunakan.
Copyright © ANTARA 2024