Jakarta (ANTARA) - Pemerintahan Prabowo-Gibran menggalakkan Program 3 Juta Rumah per tahun, yang salah satunya mendorong pembangunan satu juta apartemen di wilayah perkotaan.

Apartemen, rumah susun atau hunian vertikal dapat menjadi solusi untuk mengatasi backlog perumahan nasional yang mencapai 12,7 juta unit. Artinya masih banyak warga masyarakat Indonesia yang belum memiliki hunian permanen.

Sebagian masyarakat yang belum memiliki hunian tersebut kebanyakan tinggal di daerah perkotaan yang pertumbuhan penduduknya makin pesat akibat laju urbanisasi yang kian tinggi.

Memang betul hunian vertikal dapat menjadi solusi untuk mengatasi persoalan hunian di perkotaan. Walaupun hunian vertikal sangat dibutuhkan, tempat tinggal jenis ini kurang diminati, baik oleh konsumen maupun pengembangan perumahan.

Keterbatasan lahan menjadi salah satu tantangan utama bagi pengembang untuk membangun hunian vertikal, terutama bagi rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di wilayah perkotaan. Tantangan makin berat ketika pengembang perumahan dihadapkan pada proses perizinan pembangunan hunian vertikal yang lebih rumit dibandingkan dengan perizinan pembangunan rumah tapak.

Kedua faktor ini berdampak pada tingginya harga penjualan unit hunian vertikal yang juga mendorong harga sewa yang tinggi bagi masyarakat. Ini tentunya juga membuat masyarakat sebagai konsumen kurang meminati hunian vertikal dan lebih banyak memilih untuk membeli rumah tapak, walaupun lokasinya jauh dari tempat kerja mereka di kota.

Sepanjang semester pertama tahun ini, angka penjualan kumulatif atau cumulative sales rate untuk hunian vertikal mencapai sekitar 59,1 persen dengan proyeksi pasar untuk jenis hunian ini pada tahun 2024 cenderung landai (soft). Hal ini berbanding terbalik dengan cumulative sales rate untuk rumah tapak pada semester I tahun ini yang tembus sekitar 88 persen, dengan proyeksi pasar rumah tapak cenderung stabil namun aktif karena makin banyaknya kolaborasi antara pengembang asing dan lokal guna memenuhi tingginya permintaan konsumen akan rumah tapak.

Dari data tersebut, pasar rumah tapak lebih menguntungkan baik secara profit dan mungkin bisa menjadi solusi untuk mengatasi backlog perumahan dari sisi ekonomi secara umum.

Namun ketika berbicara dari sisi keberlanjutan secara jangka panjang, hal tersebut bisa dibilang cukup mengkhawatirkan akibat keterbatasan lahan sehingga pembangunan rumah tapak yang makin masif dapat menyebabkan peralihan fungsi lahan sawah produktif yang berperan penting bagi swasembada pangan di wilayah nonperkotaan.

Melihat kondisi demikian, pemerintahan Prabowo-Gibran bergerak cepat dengan menyusun strategi agar pembangunan satu juta apartemen di perkotaan dapat tercapai

Lalu bagaimana strategi Pemerintah mewujudkan hunian vertikal yang terjangkau dan diminati oleh rakyat?


TOD dan transportasi umum

Strategi pertama Pemerintah mewujudkan hunian vertikal terjangkau di wilayah perkotaan, salah satunya dengan memanfaatkan sejumlah lahan yang tidak terpakai (idle) milik perusahaan BUMN seperti PT KAI.

Pemanfaatan lahan idle BUMN yang berada di kawasan strategis dan dekat dengan sarana transportasi seperti stasiun kereta tentunya akan membuat mobilisasi masyarakat yang tinggal lebih mudah. Dengan demikian hunian vertikal yang dibangun pun akan diarahkan pada konsep transit oriented development (TOD)

Secara keunggulan, konsep TOD mendorong penataan permukiman agar tidak menjadi padat, kumuh, dan tidak terkendali. Selain itu, hunian TOD akan mendorong masyarakat untuk beralih dari penggunaan kendaraan pribadi ke pemanfaatan transportasi umum sehingga hal ini juga dapat mengurangi kemacetan di wilayah perkotaan.

Sebagai langkah awal, Pemerintah tengah melakukan pemetaan dan pendataan lahan - lahan menganggur milik BUMN. Hal ini bertujuan agar pembangunan hunian TOD cenderung terarah dan memiliki nilai strategis dalam membantu masyarakat.

Copyright © ANTARA 2024